Views

Bogor EduCARE road to Istana Bogor

Memperingati HUT Bogor ke-533 Bogor EduCARE berkesempatan mengunjungi Istana Bogor pada Hari Rabu, 27 Mei 2015

Panitia Penerimaan Angkatan 19

Tes Gelombang 1 pada tanggal 23 Mei 2015

Alun-alun Suryakencana

Perjalanan penuh warna ini adalah pendakian ketiga saya setelah sebelumnya dibulan Juli 2013 dan dibulan Desember 2014 saya mendaki Gunung Gede dan Gunung Pangrango dan kali ini saya bersama rekan seperjuangan dikampus kesayangan mendaki Gunung Gede untuk kedua kalinya.

Air Terjun Pelangi (Cimahi)

Air Terjun Cimahi ini, memiliki ketinggian sekitar 87 meter, merupakan salah satu air terjun yang tertinggi di wilayah Bandung dan sekitarnya. Nama Cimahi berasal dari nama sungai yang mengalir di atasnya. Air Terjun ini berada di ketinggian 1050 meter dpl dengan suhu di kawasan ini berkisar 18-22 derajat Celsius. Brrrrrrr.. #GreatExperience

2 Generous Family

Tanpa terasa kita semua sudah menginjak fase selanjutnya. Semoga kita semua dapat menjadi insan yang lebi baik lagi dikelas selanjutnya. Aamiin.

Selasa, 16 Desember 2014

SAHABAT DAN WAKTU JILID II : "PERJAMUAN TERAKHIR"



Untukmu wahai sahabat. Wahai sahabat, mari kita buat janji pada hari ini bahwa takkan ada yang memisahkan darah yang telah mengalir dalam tubuh kita berdua. Untuk itu, temanilah diriku dalam perjamuan terakhir pada istana seribu pilar langit atau taman kasihku. Jamuannya adalah madu dalam cangkir yang telah dilapisi oleh darah, keringat dan airmata. Dan wanginya eukaliptus yang dapat memabukkan jiwa tanpa harus bercampur dengan anggur. Dan lepaskanlah kunang-kunang sebagai pengganti lilin, karena kali ini kita tidak membutuhkan kehadiran cahaya yang menerangi namun ia membakar diri. Jika kau anggap perlu maka tebarlah permadani yang terbuat dari anyaman rumput, dan buanglah segala kursi dan meja perjamuan karena kita tidak membutuhkannya. Karena kita akan membebaskan diri kita untuk bersandar tanpa batas pada pundak bumi. 

Baiklah sahabat, rasanya sudah cukup persiapan jamuan terakhir bagi diriku setelah kulengkapi dengan simfoni langit malam. Sahabat, kau telah menemaniku selama ini dan tak ada rangkaian kata-kata yang dapat menyempurnakan ucapan terimakasihku padamu. Kaulah tempatku menyandarkan tulang dan tubuhku ketika ku lelah berjalan dan lemah tak berdaya, kaulah tempatku untuk berbagi kesedihan, kaulah tempatku untuk menitipkan dan menjaga seluruh rahasiaku, kaulah tempatku untuk berkaca atas segala tindakanku, kaulah tempatku untuk menyimpan airmata dan kaulah perisai serta cahaya bagi hidupku. Selama ini kau tak pernah mengkhianatiku, dan tak pernah berlari meninggalkanku. Namun sobat, aku bukanlah pemilik atas raga ini, aku hanya meminjamnya dengan sebuah perjanjian untuk mentaatiNya. Setelah hari ini, aku kan menyempurnakan janjimu padaku sehingga terbebaslah dirimu atas tanggungan diriku. Dan aku pun tak kan pernah mengkhianatimu serta meninggalkanmu, hingga kematian merenggut segala janji manusia.

Aku telah banyak menyusahkanmu dalam hidup kali ini, dan mungkin akan menyusahkanmu kembali pada saat akhir perjamuan. Jika kau berkenan maka temanilah diriku hingga jiwaku berpisah atas ragaku dan kembali kepada Tangan Yang Memilikinya. Jangan biarkan diriku sendiri ketika semuanya berlalu. Satukanlah kedua tanganku di atas dadaku dan basuhlah keningku dengan air suci yang mengalir dari kedua mataku, tapi jangan pernah kau campur dengan air matamu. Baiklah sebelum semuanya berlalu, kita minum bersama dari cangkir yang sama, madu yang sama dan kita dengarkan simfoni langit malam. Sungguh kau tak pernah mengambil hak ku, dan ku tak pernah mengambil hak mu. Jika kau berkenan akan ku berikan seluruh sisa hak ku kepada mu saat ini.

Sahabat, nampaknya mata ini kian memberat dan nafas ini kian saja mencekik leherku. Baiklah sahabat, mungkin semuanya akan mulai berlalu.  Dengarlah sahabatku, jika setelah ini kekasih yang tak pernah ku miliki datang mencariku, maka katakanlah kepadanya bahwa aku telah melakukan yang terbaik atas hal-hal yang ku bisa lakukan. Katakan kepadanya cinta lebih terasa bermakna ketika nampak kemustahilan untuk menggapainya, cinta tidak membuatku lemah namun membuatku bertahan hingga detik terakhir. Walaupun apa yang ku rasakan lebih banyak rasa sakit atasnya. Katakan padanya bahwa kepingan hati yang telah dia hancurkan dahulu telah ku rangkai kembali menjadi istana tanpa tahta yang akan selalu menunggu kehadirannya. Katakan kepadanya bahwa pilar-pilar yang menyangga mimpi dan harapan yang dahulu ia luluh lantahkan telah ku bangun kembali dan menunggu dirinya untuk menggantungkan kembali mimpi dan harapan tersebut. Sahabat, jika ia menanyakan dimanakah kedamaian setelah ini berlalu, maka katakanlah kepadanya bahwa telah ku tinggalkan untuknya beberapa hari yang lalu namun dirinya tak kunjung datang dan kini ku kembalikan damai kepada Pemiliknya. Jika ia menanyakan tentang cintaku padanya, maka katakanlah bahwa ku membiarkannya pada mataku dan bagian besar pada hatiku yang tak lagi bernyawa. Jika ia menanyakan tentang kebahagiaan, maka katakan kepadanya bahwa kebahagiaan tersebut telah ia rampas dahulu ketika dia mulai bermain api dan tidak ada lagi yang tersisa kini. Dan jika ia menanyakan tentang segala janji yang pernah ku ucapkan, maka katakanlah kepadanya bahwa janji adalah seperti duri yang menusuk pada dagingku, aku akan berusaha memenuhinya walaupun terlambat dan jika sampai akhir hidupku masih ada janji yang tertinggal maka bantulah aku untuk memenuhinya terkecuali tentang kehidupanku yang ku tak punya kuasa atasnya. 

Wahai sahabat, ambilkanlah air suci yang bergelinang di kedua mataku dan basuhlah keningku dengannya. Ah mungkin akan lebih baik jika diriku menuliskan pesan bagi kekasihku. Sahabat ambilkanlah kertas dan pena agar ku dapat menuliskan pesan untuk kekasih ku yang mungkin akan datang.

Wahai sang waktu berikanlah aku detik-detik untuk menuliskan apa-apa yang telah lama ku simpan dalam hatiku.  Wahai jiwa yang lama telah ku tunggu, dalam hidupku aku telah mencintai sedikit jiwa, dan tak sadar telah kugantungkan segala impian dan harapan. Dan tak sedikitpun aku menyesalinya, bagiku cinta adalah pelita dan perisai hidup. Tuhanku telah menciptakannya di dalam hatiku dan aku tidak ingin berpaling atasnya. Kau adalah segalanya bagiku, kau adalah nafas bagi tubuhku, kau adalah cahaya bagi hatiku, kau adalah sumber imajinasi yang bersemayam di dalam benakku. Senyummu adalah tetesan embun yang membasahi kedua bibirku dan menjagaku dari dahaga, suaramu adalah doa bagi jiwaku yang terus saja gelisah, belaianmu adalah kelembutan bagi hatiku yang mengeras batu dan dekapanmu adalah kehangatan bagi hidupku yang sunyi, dingin dan sepi.

Pada saat kau membaca pesan ini maka aku telah memenuhi janjiku untuk menunggumu sampai kematian merenggut janjiku atasmu. Jika kau masih menanyakan cinta maka aku tak dapat mengucapkan selain telah ku habiskan seluruh ruang dalam hatiku untuk mu.  Cinta telah mempertemukan dan menyatukan kami, dan juga cinta yang telah memisahkan kami. Jika cinta tak membawa kau kembali untukku di kehidupan ini, maka cinta kan menyatukan kau dan aku di kehidupan yang akan datang.  Belahan jiwa yang terpisah.

Sahabat, sampaikanlah pesan tertulis ini juga kepadanya jika ia datang. Wahai sahabat, rasanya aku tak dapat lagi menahan segalanya, lepaskanlah dan iringi kepergianku. Temanilah jasadku hingga ku sama sekali tidak bergerak, kaku. Biarkanlah kepergianku dalam damai dan jangan biarkan tetes airmatamu memberatkan kepergianku. Setelah semuanya berlalu, tempatkanlah aku di atas bukit sehingga aku dapat melihat dan menunggu kedatangan kekasihku dalam tidur abadiku.

Terimakasih wahai penjaga rahasiaku, pengiring hidupku, aku tak dapat mendampingimu lagi dan aku akan menunggumu di kehidupan yang akan datang, jika Tuhanku mengizinkannya. Terimakasih sahabatku.

Terima kasih.

Senin, 01 Desember 2014

SAHABAT DAN WAKTU JILID I : "METAMORFUTURE"



Suasana hatiku sebenarnya tak begitu nyaman saat menuliskan ini di diary usangku. Mungkin ini semacam perasaan sedih, mungkin juga rasa sakit. Entah, bahkan aku tak bisa membedakannya. Ingin ku terka kalau-kalau itu hanya sedikit kekesalan atau bisa jadi malah rasa bersalah? Aku pun sama sekali tak bisa merabanya, semakin ku menebaknya, semakin aku terkurung dalam sempitnya tanyaku. Hmm, lantas perasaan seperti apakah ini? Pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi peran antagonis? Mungkin perasaan yang dimilikinyalah yang kini kurasakan. "Menahan luka demi ego!"

Apa kabarmu perempuan yang kurindukan? Kuharap selalu baik, tentu dan harus seperti itu. Ingin sekali kukatakan ini "Maaf, untuk tak bisaku menjadi sahabat yang memahamimu". Benar kusadari genggaman tangan kita sudah sedikit merenggang. Aku pun tahu ada kegugupan dan kekakuan tiap kali kita saling sapa. Aku tahu kau tidak menginginkan itu, karena aku juga sama tak inginkannya. Tapi sebuah fakta, tentang tatap mata yang akan meleburkan kekakuan tak lagi berlaku untuk kita, hanya karena sebuah alasan - Jarak.

Dan maaf juga untukku yang selalu menganggap semuanya baik-baik saja. Selama ini aku berpura-pura tegar dihadapan semua orang, seolah-olah tak ada yang terjadi, kalaupun ada aku bisa menerimanya. Maaf aku bohong untuk itu. Sebenarnya, aku hanya ingin semuanya baik-baik saja.

Aku kira memang tak pernah ada masalah selain dia (sahabatku) yang bersikeras untuk tetap mencintaimu. Bahkan ketika kau sudah dengan tegas tidak akan memilihnya. Itu saja. Apakah kau mengerti? Aku sedih ketika harus berjauhan dengan kau, juga dengan dia (sahabatku) tapi aku hanya bisa mengucap istigfar saja. Itu saja. Apa aku harus mengulang-ngulang ini berkali-kali hingga kau paham?




Aku rasa ini bukan salahmu, ini juga bukan salah dia, tapi aku sungguh tak mampu menjelaskannya. Aku takut kehilangan sesosok sahabat. Itu saja. Maka untuk semua kesalahpahaman yang terjadi, bagiku bukan apa-apa. Masalah ini belum bisa menandingi bumbu-bumbu kisah persahabatan kita bukan?

Maaf sungguh ku maaf, aku tak bisa berbicara serius lebih seperti mau mu. Banyak sekali yang terfikir dalam benakku. Namun, sekali lagi bibirku tak cukup pintar untuk menuturkannya.

Harus kau tahu, kini aku telah memiliki seorang pujaan hati yang akan segera membuatmu bergegas keluar dari hatiku. Aku telah berusaha sekeras ini, hanya untuk menghilangkan rasa terkutuk ini. Rasa yang tak pantas ada dalam sebuah persahabatan. Tenanglah, tak lama lagi, aku, kau, dan dia akan seperti dulu lagi. Ini hanyalah proses waktu karena waktulah yang akan merubah kita, ya kita bertiga.

Kita sedang berada dalam lingkar "MetamorFriendship" yang indah. Nikmati saja. Takkan lama lagi.

"Dan mungkin benar, kini saatnya kepompong itu merubah kita menjadi kupu-kupu. Membuat kita masing-masing terbang ke arah yang berbeda untuk mencari destinasi selanjutnya. Kalaupun iya, ku berharap kita akan menjadi indah bagi sekeliling kita." :-)



Astra Yard
Friday, Mei, 23th 2014
09:33 WIB

Sabtu, 29 November 2014

AKU DAN TARI JILID III : "SEBUAH KEPUTUSAN DIRINTIK HUJAN BULAN JULI"



Apa yang akan dikabarkan hujan kali ini, kedatangannya begitu diam-diam, seolah ia mengerti isyarat kerinduanku. Adakah ia tahu perihal kesedihan yang aku tuangkan disetiap rapal doaku? Ataukah hanya singgah sebentar untuk menitipkan pesan bahwa perempuan hujanku tak akan pernah kembali? Apapun itu, hadir hujan dan rinainya di sore ini telah begitu membahagiakanku. Dan akan selalu begitu. Karena bagiku, hujan, dengan atau tanpa ‘dia’, tetaplah satu paket utuh yang akan selalu menjadi kado bagi kenanganku. 

Hujan, teruslah merinai.. Untuk ku titip doa hingga di tujuh langitNya.. Di sini, di balik jendela kamarku. Aku akan selalu menanti, menanti permulaan tetesanmu.. Disini, dalam debar menanti hujan lagi, aku menunggumu 'MENTARI AS-SHAFA' seorang Peri Cantik yang mengisi rumah disanubariku. Kemanakah dirimu setelah kepergiannya, aku tak dapt menemukanmu lagi dalam rinainya hujan diakhir bulan Juli ini.. Ku berharap Tuhan menyampaikan firasat dari semesta hatiku padamu, dimanapun kau berada.

***

Aku yang mengurung diriku dikamar, tak bisa banyak berbicara, hanya hatiku saja yang terus merasa bersalah padanya, tapi apa salahku? Aku tidak tahu, karena terakhir kali aku bertemu dia yakni dikantin sekolah itu. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari arah depan sembari mengucapkan "Assalamualaikum" Aku yang sedang merenung dikamarku sontak menjawab "Wa'alaikumsalam" dan langsung bergegas membukakan pintu.

Ternyata Tari datang kerumahku, aku terkejut karena dari informasi sahabatku, hari ini seharusnya dia pergi bersama Ayahnya ke Bandung, karena Pamannya akan Umroh.

"Tari, ayo masuk" ajakku padanya.
"Iya kak"
"Tari, bukankah hari ini seharusnya kamu pergi ke Bandung?"
"Dari mana kakak tahu kalo Tari seharusnya pergi ke Bandung" tanya Tari dengan tatapan curiga.

Bodohnya diriku, aku dan Tari sudah lama sekali tidak berkomunikasi, hampir 14 kali 24 jam kami tak saling mengetahui kabar dari masing-masing kami. Lalu, apa yang aku katakan? Dalam hatiku bertanya, berusaha mencari jawaban terbaik untuknya.

"Kenapa kakak diam saja? Apa ucapanku ada yang salah? Yasudah, aku tak memaksa kakak menjawab pertanyaanku. Biar aku yang menjawab pertanyaan kakak padaku. Iya Ka, tapi Tari memutuskan untuk tidak ikut ke Bandung"
"Mengapa?" tanyaku lagi
"Nanti akan aku ceritakan, sekarang maukah Kakak menemaniku?" ucap Tari dengan nada memohon padaku
"Kemana?" tandasku padanya
"Entahlah, aku pun bingung ingin kemana?"
"Yasudah, sebentar Kakak ganti baju dulu" dalam hati aku mengira Tari kembali teringat sosok almarhum, karena 2 minggu yang lalu dia masih sangat bersedih, semoga saja tidak.

***

Akhirnya sore itu ternyata rintik hujan yang sedari tadi turunpun seketika berhenti, seakan ia tahu bahwa Sang Pangeran dan Sang Putrinya akan benyambangi dunianya.

***

Aku dan Tari tiba disuatu tempat yang rindang, sejuk, kami duduk diantara sela-sela rerumputan hijau. "Ada apa Tari?" tanyaku padanya, tapi selang beberapa menit ia hanya diam termenung. Tanpa nada dan suara, hanya kicauan burung disore hari yang dapat ku dengar kala itu.

Aku dan Tari diam saja selama 3600 detik lamanya. "Tari, dua minggu yang lalu Kakak yang mendiamkanmu, sekarang kamu yang mendiamkan Kakak, apa kamu ingin balas dendam?" Sahutku kepada Tari yang sedari tadi terus saja memandangi buku diarynya.
"Tidak Kak."
"Lalu?"
"Aku hanya sedang memikirkan mengenai ucapan Kakak ketika dikantin dua minggu yang lalu? Inilah alasanku tidak ikut ke Bandung kak, aku sudah tidak tahan lagi dengan selalu mengira-ngira mengenai ucapan kakak padaku" Jawab Tari dengan menggebu-gebu
"Ucapan yang mana?"
"Jangan pura-pura lupa Kak"
"Sebentar Tari Kakak ingat-ingat dulu" pikirku sangat keras, apa yang kuucapkan padanya hingga dia memikirkannya seperti ini. Mungkinkah ucapanku jika aku menerima dia apa adanya? Ah, tidak mungkin, dia tak mungkin memikirkan ucapan konyol itu, itu hanya mimpi yang selalu kuamini.

"Kakak sudah ingat?"
"Sudah, apakah ucapan kakak tentang kakak menerimamu apa adanya?"

"Iya Kak" Tandas Tari dengan nada sedikit malu. Aku terkejut, aku tidak percaya jika ia selama dua minggu ini memikirkan ucapanku itu.
"Lalu?" tanyaku pada Tari
"Mungkin memang lebih baik aku belajar mencintai dari pada terus dicintai Kak."

Aku membalikan muka Tari supaya ia menatap mataku, lalu aku bilang "Tari, buat kakak cukup kebahagiaanmu saja, itu sudah mewakili semua rasa yang tersimpan dilubuk hati kakak." Tari meneteskan air mata, dan seketika aku menghapusnya dengan tanganku.

"Tidak kak, Tari juga menyayangi kakak, kakak selalu ada untuk Tari." Sanggah Tari
"Tapi kakak sudah terlanjur menjalin hubungan dengan orang lain?"
"Siapa kak?" Sontak Tari bertanya.
"Kak Zevan"
"Apa? Bukankah dia lebih tua darimu?"
"Iya, dia lebih tua dariku, aku telah menetapkan untuk belajar mencintainya"
"Mengapa Kakak mau belajar mencintainya?" Tanya Tari lagi padaku dengan tatapan
serius.
"Aku butuh seorang yang bisa membimbingku Tari." Jawabku dengan penuh harap, semoga ia mengerti posisiku.
"Mengapa kau mencari seorang wanita seperti itu?"

Tari membrondongku dengan bermacam-macam pertanyaan yang sesungguhnya menyulitkanku.

"Aku rapuh Tari, cintaku selalu bertepuk sebelah tangan, kau pasti tahu itu, kau jelas tahu bukan tentang kisah 510 hariku? Kau pun tahu kisah 'Cinta Segitigaku' dengan Sahabatku, lalu dulu sekali kau pun sangat mengetahui bahwa aku ditinggal pergi oleh dia yang kini sudah ada disurga sang kuasa. Aku rapuh Tari, tidak sepertimu, kau selalu bahagia dalam menjalani kehidupanmu, sampai akhirnya kekasih hatimu pergi untuk selamanya. Iya kan?"

"Ya kak, Tari tahu itu, sangat tahu, tapi kak mungkin kehadiran Tari dihidup kakak ini adalah jawabannya. Sempatkah kakak berfikiran seperti itu?"
"Jawaban, jawaban apa? Ini bukan ulangan Tari." Candaku mencairkan suasana.

"Kak sedang serius, tolong tatap mataku. Ya aku mungkin jawabannya, mungkin saja Tuhan memang mempertemukan kita sebagai sahabat masa kecil, lalu Tuhan mengizinkan Tari untuk menemani perjalanan pelik kakak. Melewati masa pelik ditinggalkan orang yang kakak cintai untuk selama-lamanya, melewati penantian 510 hari kakak, melewati konflik 'Cinta Segitiga' kakak, dan kakak juga selalu menemani Tari, melewati masa sedih Tari ketika Mama Tari pergi menghadap sang maha pemilik hidup, ketika Tari kehilangan orang yang Tari cinta, ketika Tari galau akan masalah-masalah Tari, kakak selalu ada untuk Tari, mungkin saja kakak dan begitupun Tari akan saling menemani dalam melewati masa-masa selanjutnya. Tapi bukan sebagai sahabat lagi."

Aku tertegun. Aku tidak menyangka Tari bisa mengatakan itu.

"Lalu menjadi apa?"
"Menjadi orang yang selalu ada untuk kakak, bukankah kakak juga selalu ada untuk Tari?"
"Kakak menghargai keinginanmu itu Tari. Tapi kakak tidak mau dijadikan pelampiasanmu atas kehilangan almarhum."
"Iya, Tari mengerti ketakutan kakak, tapi bukankah kakak bilang, kakak bisa menerima Tari apa adanya?"
"Sudahlah Tari, sekarang kita jalani dulu saja hubungan kita, kita bangun komitmen didalamnya, kita harus saling percaya, kita harus saling merindu saat kita berjauhan, titipkanlah rindu itu pada angin, hujan, malam, senja dan bintang jika kau tak bisa menghubungiku. Jika kita memang berjodoh, hubungan batin kita akan terjalin dengan sendirinya."
"Lalu hubungan kakak dengan Kak Zevan?"
"Kakak akan memberi keputusan padamu nanti malam. Bersediakah kau menunggu?"
"Aku bersedia kak jika hanya satu malam."
"Yup, sebaiknya sekarang kau pulang Tari, sudah jam 4, sebentar lagi waktunya berbuka puasa, bukankah rumahmu cukup jauh? Biarkan kakak mengantarkanmu sampai rumah."
"Tapi aku masih ingin disini, menikmati senja seperti kakak biasa menikmatinya."
"Jika aku telah menjadi milikmu, kau bisa menikmati senja bersamaku sesuka hatimu. Ayolah."
"Baiklah kak, Tari akan menurutinya."

Akhirnya aku mengantarkan Tari pulang. Setelah itu disepanjang perjalanan pulangku aku memikirkan tentang keputusanku malam ini, apa yang akan aku lakukan? Aku memang menyayangi Tari, tapi aku hanya ingin menjadikannya 'sahabat' saja, karena aku tak ingin mengulang kesalahan yang sama lagi. Tapi aku pun sebenarnya tidak begitu menyayangi Kak Zevan, apalagi mencintainya. Aku hanya mengagumi sosok dia yang dewasa, yang bisa membawaku kearah yang lebih positif lagi. Aku bingung. Entah apa yang akan aku tuliskan padanya nanti malam.



.. Bersambung ..

Kamis, 27 November 2014

AKU DAN TARI JILID II : "MENENTUKAN PILIHAN"



Tiba-tiba suara sms mengbangunkan tidurku. Ternyata itu dari Tari, aku menarik nafas dan mulai membaca kata per kata sms yang dikirimkannya. Dia memintaku untuk menemaninya kesekolah barunya hari ini. Karena kurasa aku tidak sedang sibuk maka ku iyakan saja ajakannya. Hingga suatu ketika dikantin sekolah yang kosong tanpa pedagang Tari bertanya padaku “Apa yang bisa membuat kita yakin bahwa seseorang itu bisa menjadi jodoh kita, Kak?” Tari duduk di depanku, memandangku cukup lama.

Aku sedikit kebingungan menanggapi tanya yang Tari berikan, sudah sejak lama aku juga mencari jawaban tentang hal yang sama. Bagaimana sebaiknya aku menjawabnya, sementara aku sendiri juga belum sekali pun bisa menemukan jawabannya. Arrgh, kenapa harus kamu yang bertanya itu Tari? Kenapa harus kamu?

“Ayolah Kak. Kamu kan sahabatku. Jangan diamkan aku seperti itu. Bukankah selama ini kamu selalu bisa menjawab semua pertanyaan yang aku berikan. Dan untuk saat ini, aku hanya ingin bertanya tentang itu. Aku benar-benar ingin tahu. Tidak ada yang salah kan dengan itu?”

Ternyata kau hanya menganggapku sahabat Tari. Aku sendiri bingung. Aku sudah mengenalmu jauh lebih lama dari siapa pun. Aku tahu bagaimana kamu ketika kamu masih kecil dulu. Aku sudah menjadi teman, sahabat, bahkan mungkin seperti kakakmu sendiri. Kamu selalu datang padaku dengan setiap cerita suka dan duka yang kamu punya. Bertahun-tahun aku selalu menemanimu, mendengarkan setumpuk kisah cintamu dengan beberapa laki-laki yang sudah pernah kamu panggil sebagai ‘kekasih’, meskipun sejujurnya, sebenarnya aku lebih suka memanggil mereka sebagai kumpulan orang brengsek, yang untuk kesekian kalinya, selalu saja ada dan datang untuk menyakiti dan mengecewakanmu. Aku tidak pernah suka ketika kamu datang padaku, menangis, dan berbicara terbata-bata, mengungkapkan semua rasa sakit dan kekecewaanmu karena mendapat perlakukan yang tidak seharusnya kamu dapatkan.

“Kak Ari.. kok malah diam gitu sih? Gak bisa jawab pertanyaan aku? Atau gak mau? Ayolah Kak, aku sudah disini untuk satu jam dan aku masih saja gak dapat apa-apa.”

Baiklah. Aku akan berusaha menjawab. “Ok. Tari. Bersabarlah sedikit. Aku sedang berusaha mencari jawaban yang tepat. Berikan aku kesempatan untuk berpikir sejenak. Setelah itu, aku janji, aku akan menjawab semuanya.”

“Itu yang aku mau sedari tadi Kak. Jangan buat aku menunggu lama yaa.”

“Tari, kamu mungkin sudah pernah mendengar cerita ini ribuan kali, namun entah kamu masih mengingat cerita ini atau pun tidak. Hampir setiap kali kamu datang ke rumah, dengan segudang cerita patah hati kamu. Aku selalu mengulang cerita ini.”

“Cerita yang mana? Jujur aku gak tahu cerita mana yang kakak maksud. Yang mana kak?”

“Cerita tentang seorang laki-laki yang mencari makna cinta sejati dan jodoh. Kamu masih ingat?”

“Aaaaa. Sebentar-sebentar Kak. Rasanya aku tahu. Sebentar aku ingat-ingat lagi.” Kulihat Tari yang berusaha mengingat-ngingat cerita kecil nan sederhana yang aku seringkali ceritakan padanya. Apakah dia masih mengingatnya? Kuharap dia mengingatnya.

“Dan?” Tak sabar rasanya aku menunggu jawabannya.

“Kak. Rasa-rasanya aku lupa.” Tari tertawa kecil. “Aku bingung. Ya sudah, kak ceritakan lagi ya.”

“Aduh Tari, masa kamu lupa? Ya sudah, kak ceritakan lagi.”

“Makasih ya kak. Aku akan dengan senang hati mendengarkan.”

“Kak harap ini kali terakhir kak cerita ke kamu.”

“Bertahun-tahun yang lalu, ada seorang pemuda yang dengan sengaja bertanya pada salah satu Gurunya, dia bertanya tentang bagaimanakah cinta sejati dan jodoh itu. Melihat keseriusan pemuda yang bertanya pada Guru itu, lalu sang Guru akhirnya menyuruh pemuda tadi mencari sebuah ranting yang terbaik dari pohon yang ada di sekeliling mereka, dan serta merta si pemuda itu pergi ke pohon yang tidak jauh dari tempat mereka bercengkrama.”

“Pemuda tadi berjalan menyusuri pohon-pohon yang ada di sekelilingnya itu dan dia menemukan banyak ranting pohon yang berserakan di atas tanah. Setelah beberapa langkah, dia berjalan ke arah sebuah ranting yang menurutnya masih bersih berwarna kuning keemasan dan sepertinya masih belum lama terjatuh dari pohon. Ranting pohon tadi ternyata benar-benar menarik perhatiannya.”

“Dia berniat mengambilnya untuk segera diserahkan pada Gurunya. Namun tidak berselang lama, dia segera mengurungkan niatnya. Dalam benaknya dia berpikir, pasti masih ada ranting pohon lain yang lebih bagus dari yang sudah dia temukan, dan dia pun bertekad akan terus berjalan lagi untuk menemukan yang lebih baik. Akhirnya pemuda tadi berjalan lagi dan memang masih banyak ranting pohon yang terjatuh namun dia tidak setertarik seperti pada ranting pertama yang dia temukan di awal perjalanannya menyisiri pohon-pohon di sekelilingnya itu. Dan setelah lama mencari, akhirnya pemuda itu pulang kepada Gurunya tanpa membawa apa-apa.”

“Sang Guru pun bertanya pada pemuda tadi, mana ranting pohon yang kamu suka. Pemuda tadi menjawab, aku sesungguhnya sudah menemukan satu ranting yang menurutku sangat menarik, tapi aku mengurungkan niatku, aku masih berharap untuk menemukan yang lebih baik, tetapi akhirnya aku malah tidak menemukan apa-apa.”

“Sang Guru pun tersenyum dan berkata, itulah cinta sejati. Cinta sejati tidak akan kamu dapatkan jika kamu hanya selalu mencari yang terbaik menurut sudut pandangmu saja, tetapi cinta sejati akan kamu dapatkan, ketika kamu sanggup menjalani sebuah proses.”

Kulihat Tari masih tetap memandangku lekat, terlihat siluet wajahnya yang cantik dan Tari terlihat begitu manis. Andaikan saja kamu tahu apa yang aku rasakan saat ini. Aku akan sangat berbahagia dengan itu.

“Lalu kak? Bagaimana dengan ‘jodoh’ yang aku tanyakan tadi. Cerita kak belum benar-benar menjawab pertanyaanku.” Tari duduk lebih dekat denganku, dia mendekap erat boneka sapi berwarna putih yang aku berikan di ulang tahunnya satu bulan yang lalu. Entah kenapa akhir-akhir ini Tari selalu membawanya kemana pun.

“Sabar. Kita masih setengah cerita Tari. Kamu masih tetap mau mendengar kan?”

“Oke. Maaf-maaf. Ayo lanjutin kak. Aku masih penasaran sama lanjutan ceritanya.”

“Ya. Lalu bagaimanakah jodoh itu, sang Guru kembali menyuruh pemuda tadi untuk mencari sebuah pohon yang bagus untuk ditebang. Dan pemuda tadi pun pergi ke hutan yang terdekat. Dia berjalan menelusuri hutan tersebut. Pada suatu saat dia menemukan sebuah pohon yang sangat bagus menurutnya untuk ditebang. Namun seperti yang sudah dia lakukan sebelumnya, dia kembali mengurungkan niatnya.”

“Pemuda tadi kembali menyusuri jalan setapak ditengah hutan, berharap menemukan kembali pohon yang lebih baik dan juga lebih bagus. Namun setelah lama dia berjalan dan hampir keluar dari hutan dia belum menemukan lagi pohon yang menurutnya lebih baik dari yang pertama. Namun ada sebuah pohon yang tidak jauh dari tempatnya berdiri saat itu, yang mungkin tidak lebih baik dari yang pertama. Meskipun begitu, menurutnya masih lebih baik untuk menebangnya saja daripada dia pulang tetapi tidak membawa apa-apa. Dia berpikir bahwa dia tetap membutuhkan sebuah pohon yang harus ditebang untuk dibawanya pulang.”

“Dan akhirnya pemuda tadi pulang menemui sang Guru dengan membawa pulang sebuah pohon yang telah ditebangnya. Sang Guru bertanya keheranan, apakah ini menurutmu pohon yang baik. Pemuda tadi menjawab, sebetulnya pada awalnya ada yg lebih baik tetapi aku lewatkan seperti saat aku mencari ranting pohon tadi. Setelah cukup jauh berjalan aku menemukan pohon ini, yang mungkin dalam kenyataannya tidak jauh lebih baik dari yang pertama aku temukan, tetapi menurutku pohon ini pun masih tetap akan bermanfaat.”

“Sang Guru tersenyum dan berkata itulah jodoh. Bahwa jodoh akan kita dapatkan berdasarkan keputusan kita.”

“Dari cerita tadi Tari, kita akhirnya dapat mengambil satu kesimpulan bahwa cinta sejati merupakan sebuah proses untuk memberikan cinta kita tanpa mengharapkan balasan apapun. Pada hakikatnya jodoh adalah sebuah keputusan atas berbagai pilihan, seperti hidup kita sendiri inipun juga kita jalani atas berbagai pilihan.”

“Kak. Dalam beberapa hal aku bisa setuju dengan apa yang kak ceritakan, tapi kenapa dalam kenyataannya, ketika aku sudah memutuskan seseorang adalah bagian dari kepingan hatiku yang hilang dan berpikir bahwa dia mungkin ‘orang yang tepat’ yang selama ini aku cari. Aku lebih sering mendapatkan kekecewaan.”

“Itu mungkin karena orang-orang yang sudah kamu anggap ‘tepat’ itu, belum benar-benar bisa ‘menerima’ dan ‘memahami’mu seutuhnya Tari. Itu karena mereka tidak pernah merasa puas dan selalu saja menginginkan sesosok lain yang menurut mereka lebih baik. Mereka yang salah Tari. Mereka yang bodoh, karena sudah mengecewakan dan menyakitimu yang sudah benar-benar tulus menyayangi mereka. Mereka yang tidak tahu apa-apa tentangmu Tari. Tidak sepertiku yang sudah bisa menerimamu sepenuh hatiku.”

“Kak? Bisa kak ulang apa yang kak katakan barusan?” Tari terlihat sangat terkejut mendengarkan pernyataanku barusan.

“Aku bisa menerimamu sepenuh hatiku Tari.”

Minggu, 23 November 2014

AKU DAN TARI JILID I : "SEMUA ADALAH TITIPAN"


Penampilan, kadang menipu. Janji, kadang mengkhianati. Bulan, kadang pergi. Bintang, kadang tak hadir. Sahabat, kadang menghilang. Lalu? Apakah ada yang akan selalu sempurna? Pada kenyataannya, tak ada. Apakah ada yang selamanya menetap dan tak pernah pergi? Pada hakikatnya, tak ada.

“Adakah hal yang mengganggu fikiranmu kak? Sepertinya pikiranmu sedang terbagi-bagi. Ada masalah kak?” Tari memandangku nanar. Tak terlihat ada kehidupan dari kedua matanya. Rasanya seperti kehampaan sedang menelannya dalam pusaran yang sangat kuat. Ia terlihat sangat rapuh, seakan-akan api semangat dalam hidupnya tak lagi membara seperti yang biasanya.

“Tari, adakah hal yang mengganggumu sekarang?” Tari menggangguk, namun ia tetap saja tak kunjung berbicara.

“Maukah kamu bercerita?” Tari akhirnya bercerita banyak mengenai kehilangan yang baru saja ia rasakan. Ada sekian hal yang berubah dari perjalanan hidupnya. Setelah sekian lama ia memberikan kepercayaannya kepada orang yang selama ini bersamanya, pada akhirnya ia merasa itu sia-sia dan tak ada lagi artinya. Tari merasa Tuhan sudah berlaku tidak adil kepadanya. Karena di saat ia merasakan cintanya memuncak, Allah merenggut kehadiran orang yang ia cintai dengan kematian.

Setengah berteriak, Tari menghujaniku dengan pertanyaan. “Mengapa Tuhan tak berikan aku kesempatan untuk lebih lama bersamanya? Mengapa Tuhan membuatku merasakan kehilangan sedalam ini kak?”

Aku lihat kedua matanya yang mulai menghitam karena terlalu banyak menangis. Dan kujawab tanyanya perlahan. “Karena Tuhan menginginkanmu untuk belajar.”

“Apa yang harus aku pelajari dari kehilangan? Yang aku rasa hanyalah rasa sakit, tak lebih.”“Ada banyak hal yang bisa kamu pelajari dari kehilangan. Salah satunya adalah rasa syukur, karena bagaimana pun Allah tidaklah akan pernah berikan cobaan dan ujian seperti apa pun bentuknya, selain karena itulah salah satu bentuk kecintaannya untuk setiap hambanya.”

“Patutkah aku bersyukur di saat orang yang aku cintai Ia ambil kak?” Aku hanya bisa tersenyum ketika ia berbicara seperti itu. Apakah kehilangan seorang yang ia cintai jauh lebih penting dan berat dibandingkan kehilangan cinta dari Tuhannya? Tak sadarkah ia karena telah menuhankan cintanya sendiri?

“Sudahlah, bukan saatnya kamu menangisi kehilanganmu itu. Tidak akan pernah menjadi baik jika kamu harus terus menangisi orang yang sudah tiada. Aku ingin tunjukkanmu sesuatu jika kamu berkenan.”

Tari tidak langsung memberikanku jawaban. Sepertinya ia sedang menimbang mengenai apa yang seharusnya ia lakukan untuk menjawab ajakanku.

“Apa yang ingin kakak tunjukkan?” Tari mulai menghapus air mata yang sedari tadi mengalir deras dari kedua matanya.

“Ikuti saja kemana kakiku melangkah. Nanti kamu akan tahu sendiri apa yang ingin aku tunjukkan.”

Dan pada akhirnya aku membawa Tari untuk berkeliling di sekitar taman. Aku ajak dia berjalan bersama sembari memintanya memperhatikan segala sesuatu yang ia temui di sepanjang perjalanan kami.

“Kamu tahu Tari? Pada dasarnya, ada dua bentuk kehilangan.”

“Dua bentuk? Bagaimana kakak menjelaskan masing-masingnya? Aku masih belum begitu paham dengan apa yang kakak utarakan sekarang.”

“Iya, pada dasarnya ada dua bentuk kehilangan. Yang pertama, kehilangan yang memang kita rencanakan dan kita siapkan sebelumnya. Sementara yang kedua, kehilangan yang tidak pernah kita rencanakan atau kita siapkan sebelumnya. Dan pada saat ini, kamu tengah mengalami kehilangan yang kedua sepertinya.”

Tari memandangku dengan penuh tanda tanya. Mungkin dia masih belum bisa mengikuti jalan pikiranku.

“Coba berikan penjelasan yang lebih agar aku bisa lebih paham dengan maksudmu.”

“Santai saja, Tari. Kita masih punya banyak waktu bukan? Nanti akan Kakak jelaskan dan tunjukkan apa perbedaan dari keduanya.”

“Baiklah, aku masih akan menunggu.”

Di tengah perjalanan, kami melihat salah satu anak sedang terlihat murung, kami lalu menghampirinya dan sekaligus bertanya mengapa anak itu murung.

“Kenapa kamu murung, de?” tanya Tari

“Aku gak punya cukup uang buat beli mainan itu, Kak.”

“Memangnya berapa yang kamu butuh, sayang?”  Tari mengusap kepala anak itu dengan lembut.

“Cuma sepuluh ribu, Kak.” Jawab anak itu sembari menahan tangis.

“Ya sudah, kakak kasih kamu sepuluh ribu untuk beli mainannya. Tapi kamu harus janji ya, sayang.”

“Janji apa, Kak?”

“Mainannya harus dijaga ya, jangan sampai dibuang atau kamu rusak. Gimana?”

“Iya Kak Tanti, aku janji. Makasih ya Kak.”

Anak itu mengambil uang yang Tari berikan dan kembali berlari mengejar penjual mainan yang sudah berjalan agak jauh dari tempat kami berbicara dengan anak itu. Tari terlihat bahagia dan senang di saat bersamaan. Wajahnya berseri seakan ia sudah melakukan sesuatu yang membuat hatinya merasa sangat nyaman.

“Tari, kamu sadar gak? Pada hakikatnya kamu sudah kehilangan sesuatu baru saja.”

Tari terkejut. “Apa? Aku tidak sadar kalau aku kehilangan sesuatu.” Aku tersenyum melihat reaksinya.

“Ya, kamu sudah kehilangan uangmu bukan? Isi dompetmu jelas sudah berkurang sekarang kan. Anak itu sudah mengambil sedikit dari uangmu.” Giliran Tari sekarang yang tertawa mendengarku menjawab seperti itu.

“Aku tidak merasa kehilangan sedikit pun. Aku malah merasa sangat senang bisa berbagi, meskipun sedikit. Memang uangku berkurang, tapi aku tidak merasakan sedikit pun kehilangan.”

“Kenapa kamu merasa senang? Apakah kamu tidak takut? Bisa saja setelah ini kamu membutuhkan uang itu kan.”

“Uang yang aku punya adalah sebagian dari titipan yang Allah berikan untukku. Bagaimana pun, cepat atau lambat, uang itu akan habis juga. Kalau memang suatu saat nanti aku membutuhkan, dan jika memang itu rizki yang seharusnya menjadi milikku, uang itu akan kembali. Jadi aku tidak khawatir mengenai uang yang kuberikan itu.” Aku kembali tersenyum mendengar jawabannya. Ini akan menjadi lebih mudah untuk Tari pahami.

“Seperti itulah yang aku maksud dengan kehilangan yang pertama Tari, kehilangan yang kamu sudah persiapkan. Memang ada sesuatu yang menghilang darimu, tapi kamu tetap sekali pun tidak merasa kekurangan apa-apa, malah kehilangan yang kamu dapatkan itu justru membuatmu merasa senang dan malah bahagia.”

Tari mulai mengangguk mendengar penjelasanku, agaknya ia sudah mulai memahami maksudku. “Lalu, seperti apa bentuk kehilangan yang kedua?”

“Coba kita ubah kondisinya. Bagaimana kalau uang yang kamu punya sekarang semuanya ludes? Bukan karena kamu berikan atau hadiahkan itu untuk orang lain, seperti yang kamu lakukan kepada anak yang tadi. Tapi karena uang yang kamu punya, semua habis karena dicuri atau dompetmu diambil paksa oleh pencopet atau pencuri yang menghadang kamu? Reaksi kamu seperti apa? Apa kamu akan dengan mudah merelakan kehilangan yang kamu rasakan itu.”

“Astagfirullah, aku tidak sekali pun pernah terpikirkan seperti itu. Bagaimana reaksiku? Jelas aku akan kebingungan dan mungkin juga ketakutan. Uang yang ada di dompetku itu mungkin juga tak lagi bisa aku relakan sepenuhnya. Berbeda dengan kondisi yang sebelumnya ketika aku memberikan uangku karena sengaja, dengan maksud ingin memberi.” Tari hanya bisa menggelengkan kepalanya, tak pernah terpikirkan dalam bayangannya jika harus berada di posisi itu.

“Kenapa menjadi berbeda? Bukankah kondisinya tetaplah sama, Tari.”

“Sama? Apa yang membuatnya sama?”

“Mungkin memang bentuk kehilangannya berbeda. Kamu pun juga sadari itu. Di awal, kehilangan yang pertama tidaklah sedikit pun menjadikanmu khawatir, tapi di kondisi yang kedua, kamu mulai merasa tak siap dengan kehilangan yang kamu rasakan. Seperti jawabanmu sebelumnya, mungkin kamu akan kebingungan dan juga ketakutan setelahnya, kamu pun juga tidak sepenuhnya bisa rela dengan kehilangan yang seperti itu.” Tari menggangguk, mengiyakan apa yang aku mulai jelaskan kepadanya.

“Tapi satu hal yang tetap sama, Tari.” Sejenak aku menghela nafas sebelum melanjutkan jawabanku. “Dan kamu sepertinya mulai sedikit lupa dengan ucapanmu sendiri. Bukankah uang yang kamu punya adalah sebagian dari titipan yang Allah berikan untukmu. Bagaimana pun, cepat atau lambat, uang itu akan habis juga. Kalau memang suatu saat nanti kamu membutuhkan, dan jika memang itu rizki yang seharusnya menjadi milikmu, uang itu tentu akan kembali. Jadi kamu tidak akan sedikit pun khawatir mengenai uang yang tercuri atau lenyap itu.” Tari terkejut mendengarku mengulang kembali ucapannya sendiri. Terlihat Tari yang malu, mengakui kealfaannya.

“Sesungguhnya, jika kita menyadari bahwa segala sesuatu yang kita miliki adalah titipan dariNya, tak akan sedikit pun kita merasa khawatir dengan apa pun yang terjadi dengan titipan kita itu. Jika memang itu adalah rizki dan Allah siapkan itu untuk menjadi milik kita, tentu Allah akan berikan kita jalan untuk tetap bersamanya. Bukankah tidak ada seorang pun yang mampu menghalangi kehendaknya bukan?” Kedua mata Tari terlihat berkaca-kaca, ia seperti menahan tangis yang ingin menyeruak dari dalam.

“Tapi mengapa menjadi sulit bagiku untuk ikhlas dengan kehilangan yang aku rasakan sekarang?”

“Itu karena kamu menyimpan ‘titipan’-Nya di hatimu, bukan di tanganmu. Maka begitulah akhirnya, kamu akan merasa berat hingga menjadi begitu mendalam kehilangan yang kamu rasakan. Berbeda jika kamu menyimpan segala sesuatu yang berupa hal duniawi di tanganmu, seperti jodoh dan juga rizki, maka jika ia terlepas atau Allah ambil kembali ‘titipan’ yang diamanahkan kepadamu, kamu tidak akan merasa berat, justru bertambah kebahagiaan yang kamu rasakan. Seperti yang terjadi di saat kamu memberi sebagian rizkimu kepada mereka yang membutuhkan, kamu pun sudah merasakan kebahagiaan itu bukan?”

Dan pada akhirnya. Kita akhirnya tahu dan mulai belajar memahami. Penampilan, kadang menipu. Janji, kadang mengkhianati. Bulan, kadang pergi. Bintang, kadang tak hadir. Sahabat, kadang menghilang. Lalu? Apakah ada yang akan selalu sempurna? Pada kenyataannya, tak ada. Apakah ada yang selamanya menetap dan tak pernah pergi? Pada hakikatnya, tak ada. Semua hanyalah titipan.

Jumat, 14 November 2014

TUGAS PENGAMEN "OTOKRATIS"


Setelah melewati serangkaian peristiwa aneh yang sungguh absurd dalam mengedit, akhirnya bisa di upload juga, hufft sungguh melelahkan, namun ada banyak pelajaran dibalik itu semua, yang paling utama adalah belajar untuk tidak mengeluh dalam kondisi apapun hehe..

Check This Out :

https://www.youtube.com/watch?v=W_kz-FYGEsQ

Kamis, 25 September 2014

MENUJU IMPIAN JILID IV : "KEPUTUSAN HAKIM YANG MAHA AGUNG"



Masih ada satu bulan waktuku untuk menunggu hasil perjuanganku selama ini. Harusnya aku bisa berkaca dari pengalaman yang sudah-sudah. Namun keledai ini nampaknya jatuh kembali ke lubang yang sama. Waktu yang seharusnya aku gunakan untuk mempersiapkan pertempuran selanjutnya, yaitu SBMPTN, aku sia-siakan dengan bersantai-santai, terlena-lena,main-main dan bahkan aku masih mau menerima tawaran dari sobat lamaku untuk bekerja Part-time. Praktis 1 bulan lamanya aku hanya belajar seadanya, sering bolos belajar dan melakukan hal-hal yang menyenangkan lainnya. Mungkin aku masih ingin balas dendam karena bulan-bulan yang lalu aku habiskan dengan angka-angka dan aku merasa diatas angin dalam medan SNMPTN.

Dan 13 Mei 2014 yang indah nan menegangkan-pun datang. Ku kenakan kemeja putih berjas, berdasi merah bercorak, dan bercelana hitam dihiasi sepatu pantofel serta hiasan bunga mawar yang sengaja ku sediakan untuk menghadiri momen terpenting dalam hidupku yaitu wisuda. Wisuda itu kunamai "TIGA BELAS MANIS".

Meskipun bukan aku yang akhirnya menjadi seorang Raja, melainkan rekanku yang inisialnya 'WCW'. Tapi hari itu aku tetap senang karena buku tahunan sukses dan rampung tepat pada waktunya, dicetak semua dan pembagiannya lancar, tidak seperti cerita kakak-kakak kelasku terdahulu yang permaslahan Buktanya masih menggantung setelah perpisahan. Di hari itu, aku ingin sekali mendengar kabar baik, dan untuk mendengar kabar sebaik ini aku harus berpakaian rapi, senang dan berhati lapang. Tapi, acara pelulusannya akan diumumkan seminggu lagi, tepat 20 Mei 2013 nanti. Dan Maha Baik Allah SWT yang menghadirkan kabar super baik di hari selasa yang baik itu. Aku LULUS UJIAN masalah NASIONAL yang kontroversial itu, tak hanya itu aku diberi bonus oleh Sang Pemberi Rahmat, seorang perempuan yang mau menerima cintaku. Tapi sayang sekarang dia sudah melupakanku.

Alhamdulillah aku pun mendapat nilai yang relatif baik dan termasuk tinggi di sekolahku. Hufft.. Fiuuh, kerja kerasku terbayarkan. Usaha kuat memang tak akan berkhianat! Dan di 27 Mei 2014 aku kembali mengharap kabar yang super baik. Saiang itu diwarnet aku dan seorang kawanku berinisial RM, dag-dig-dug cemas, aku menunggu kabar yang aku harapkan jauh lebih baik dari kabar lulusnya pecundang ini di Ujian masalah Nasional. Pengumuman lulusnya para pejuang SNMPTN diumumkan tepat pukul 12.00 WIB. Aku hitung mundur waktu menuju momen menegangkan itu layaknya pembakar kembang api menunggu pukul 00.00 untuk meletuskan kembang api tahun baru. Tanganku menegang bergetar diatas keyboard laptop ini, mataku mondar-mandir antara jam tangan yang berdetak ditanganku dan layar lcd komputer ini tak kalah membuatku gugup. Pertanyaanku dalam hati apakah aku tanyakan saja pada guru BK-ku, ah aku harus kuat menerima semua keputusan ini, ini adalah hasil dari usahaku! Teng!

Tepat pukul 12.00, sungguh tak bisa ku gambarkan bagaimana tegangnya diriku menunggu putusan tentang nasibku di ranah SNMPTN 2014 ini, laksana menunggu putusan sidang dari pengadilan. Teman-teman pembaca yang sudah pernah merasakan pasti dapat memahami apa yang aku maksud, dan bagi teman-teman pembaca yang belum pernah merasakan, tunggulah momennya nanti dan rasakan sensasinya, haha. Rasanya inginsegera ku tulis url snmptn di browser yang sedang ku buka ini, tapi aku malah membuka akun facebookku terlebih dahulu yang setelah ku buka diberandanya terpampang nyata bagaimana teman-temanku yang tidak lolos SNMPTN meluapkan kekesalannya dan berbagi melalui media social itu, ada yang bernada kecewa, ada yang bernada kesal, ada yang bernada pasrah, pokonya macam-macam. Waw! Rasanya tak sabar aku untuk menulis status yang tidak maenstream. Seketika aku pun takut untuk membukanya, optimisme ku selama ini berubah menjadi rasa pesimisme yang tinggi. Dan akhirnya aku beranikan diri untuk membuka pengumumannya.

Ternyata aku gagal, dan jujur ini adalah kegagalan yang membuatku terpuruk, bagaimana tidak ternyata raport-ku selama 5 semester yang ku pertahankan seluruh nilai-nilainya + Satu sertifikat Nasional, sati sertifikat Provinsi dan satu sertifikat Kabupaten yang ku dapatkan tak sanggup mengantarkan aku menjebol Perguruan Tinggi Negeri   tapi inilah hidup, aku akan berjuang di kesempatan berikutnya. SBMPTN I'm Coming !



... Bersambung ...

Minggu, 14 September 2014

MENUJU IMPIAN JILID KETIGA : "ESENSI UN"



Lupakan dulu tentang SNMPTN, aku pun bersua kembali dengan rutinitas aku untuk menghadapi medan peperangan UN sampai akhirnya datanglah 14 April 2014. Momen bahagia sebenarnya untukku, karena hari itu Mama, ya Mama, sosok dibalik kekuatanku, keteguhan dan ketegaranku berulang tahun yang ke-48. Happy Birthday Mom, meskipun sudah sangat amat basi !

Selama 3 hari itu aku harus bisa menunjukkan kegigihanku, dengan usaha keras yang singkat ini aku bisa melalui Ujian Nasional yang penuh kontroversi itu setidaknya dengan aman, dengan LULUS bukan LOLOS. Selama 3 hari itu, untungnya aku masih diberi iman yang kuat untuk tidak tergoda dengan banyak sekali bocoran jawaban yang beredar. Aku tahu asal muasal bocoran itu, tapi aku hanya tidak mau, apa yang aku usahakan selama ini ternodai dengan bocaran-bocaran yang tak guna itu. Aku juga tidak mau, ijazah yang nantinya aku gunakan untuk masa depanku, aku dapatkan dengan cara yang tidak halal dan aku juga tidak mau mengecewakan orangtuaku, terutama Mama yang selalu berdoa demi kesuksesanku dan aku juga tak mau uang negara yang mengucur untuk membiayai pendidikanku aku gunakan dengan cara-cara yang tidak beradab seperti itu layaknya seorang koruptor biadab itu. Aku berpikir apa bedanya aku dengan koruptor-koruptor yang ku hujat itu jika aku menggunakan lembaran yang berisi jawaban setan itu untuk memperoleh secarik ijazah? Tidak! Untuk aku masih punya hati, alhamdulillah aku masih bersyukur akan hal itu. Memang aku sakit hati sekali, melihat teman-temanku yang aku lihat usahanya jauh lebih keras dariku masih saja terjerembab dalam lingkaran setan itu. Tetapi lantas aku malah kasihan dengan mereka yang mau saja diperdaya dengan hal-hal seperti itu.

UN- pun akhirnya berhasil ku lalui dengan terlunta-lunta sekalipun, agak berlebihan sepertinya, tapi itu yang kurasakan. Tinggalah aku menunggu hasilnya. Bismillah, usaha yang kuat takkan berkhianat.

Siang itu hari terakhir UN aku habiskan di Warung Soto bersama kawan-kawan seperjuanganku. Tapi rupanya kawan-kawanku yang lain bersegera pulang bersiap-siap untuk refreshing menuju Yogyakarta. Yup, aku tidak ikut kesana, aku akan melakoni rutinitasku yang sudah ku persiapkan untuk menghadapi hari itu.



... Bersambung ...

Sabtu, 13 September 2014

MENUJU IMPIAN JILID KEDUA : "MENENTUKAN PILIHAN"



Teguran Tuhan itu memotivasiku untuk kembali bangkit. Karena bagiku tak ada pilihan lain yang lebih baik daripada bangkit dikejatuhan ini. Akupun bangkit, meskipun agak terlambat karena baru di bulan ke-2 tahun 2014 ini aku baru sadar, karena aku justru masih saja memikirkan "Perasaanku" yang tercabik-cabik oleh seorang perempuan yang selama ini kucintai, dan ketika aku sudah melupakannya, aku pun masih terjerembab pada cinta yang salah, bahkan hampir menandaskan persahabatku. Itu sebenarnya sedikit membuyarkan konsentrasi belajarku, tapi bukan itu yang ingin ku ceritakan, sudah lupakan !

Aku masih berpegang pada pepatah, tak ada kata terlambat untuk berubah, iyakan? Aku langsung bergerilya memburu soal-soal UN, men-copy catatan teman yang tentunya jauh lebih rajin dariku, bertanya sana-sini, dengan teman, dengan guru, atau dengan siapapun. Aku menjalani hari- hari yang berat menjelang UN, bagaimana tidak berat? Aku terpaksa harus bercumbu dengan rumus-rumus matematika dan fisika yang indah (?), nama-nama ilmiah dari hewan yang bahkan aku belum pernah melihatnya. Aku buat jadwal tiap hari mapel mana yang harus aku apeli. Senin aku berpacaran dengan Biologi, selasa nge-date dengan bahasa Indonesia, rabu aku tak boleh melupakan kimia, kamis aku harus mencoba mencintai fisika, jumat ber-bahasa inggris, dan sabtu aku bercumbu dengan matematika. Begitulah rutinitasku tiap harinya.

Sialnya, seperti kelas XII yang lainnya. Fokusku terbagi! Aku juga harus mempersiapkan Ujian Praktek, Ujian Sekolah, Berbagai TryOut yang sangat mengujiku, dan SNMPTN, serta siap-siap dengan SBMPTN/UM jika aku tak diundang, sedangkan UN-pun aku masih belum apa- apa. Andai aku seperti teman-temanku yang lain yang sudah siap menghadapi medan tempur jauh-jauh hari sebelumnya. Setelah baru mulai beberapa langkah untuk menaklukan UN. Langkahku-pun terhenti sejenak di satu titik ketika aku harus mempersiapkan mau dibawa kemana masa depanku, kuliah atau tidak? Kalaupun kuliah, mau kuliah dimana dan jurusannya apa?

Oke, aku berkaca! Aku seorang IPA, lantas ku baca satu per satu jurusan dikampus hijauku itu, karena hanya anak IPA sajalah yang bisa memasuki kampus impian itu. Ada Fakultas MIPA yang ku lirik, lalu ada deretan nama-nama jurusan keteknikan, rumpun kesehatan, ataupun science murni maupun terapan tak ada satupun yang menggoda ketertarikanku. Ku baca berulang-ulang, lagi-lagi tak ada satupun yang menarik hatiku dan lantas akupun menyerah. Tiba-tiba terbesit, mungkin aku harus kembali ke jiwaku yang sebelumnya, jiwa sosial, haha sudah cukup selama hampir 2 tahun ini aku tersesat di lautan rumus-rumus yang menghinakan aku itu. Aku terjerembab pada kesalahan besar. Itu artinya kampus hijau itu bukan lagi menjadi tujuan utamaku? Ya seperti itulah. Bukankah akan lebih menyenangkan jika engkau menjalani apa yang engkau sukai daripada menyenangkan orang lain dengan menyengsarakan dirimu? Tapi hatiku tak cukup mantap untuk murtad dari dunia sains ini. Dan kebingungan selanjutnyapun hadir.

Akupun teringat, dulu di SD aku pernah jatuh cinta dengan IPS, lalu SMP aku mendalami sekali Matematika-ku, dan di SMA ini aku berfokus diri pada Biologi, dan aku kembali menomor satukan IPB itu karena terdapat jurusan tentang Biologi (Murni), Waw! jurusan yang menurut passing grade bimbel-bimbel termasuk jurusan yang paling diminati. Akupun kembali berkaca! Siapa aku? Anak bau kencur di IPA mau ngambil jurusan yang PG-nya termasuk tinggi walaupun aku tak sepenuhnya percaya dengan PG karena itu buatan bimbel bukan sumber resmi dari penyelenggara SNMPTN ataupun PTN-nya sendiri. Lantas aku meminta pertunjuk dari Yang Maha Kuasa dengan sholat istikharoh, sekali lalu dua kali, tiga kali, dan sampai berkali-kali aku melakukannya tetapi tak kunjung mendapat jawaban. Ya sudahlah, aku putuskan mengambil itu saja. Dan ku taruh Silvikultur sebagai pilihan kedua. Entah karena apa, mungkin hanya karena hobbi, maybe.

Dan untuk pilihan universitas kedua bisa saja ku kosongkan tapi ku pikir isi sajalah, dan harus kupastikan aku tidak akan lolos di pilihan ke-3 dan kupilih Pendidikan Fisika di Universitas Negeri Jakarta. Kau bercanda Ri? Ya sepertinya begitu. Pendaftaran SNMPTN sudah ku lakukan, tinggal menunggu hasilnya.



... Bersambung ...

Senin, 01 September 2014

MENUJU IMPIAN JILID PERTAMA : "TEGURAN TUHAN"


"Ini adalah catatan spesial untuk adik kelasku SMANC1S Angkatan VII. Jangan dilihat sisi buruknya, ambil sisi baiknya sebagai pelajaran, dan jangan ditiru! Semoga dapat menjadi motivasi, aamiin."

Ujian Nasional.. jengjeng! Aku kira, ujian nasional yang bakal aku hadapi ini tak jauh berbeda dengan ujian nasional masa SMP. Jadi, aku melalui masa-masa awal kelas XII yang suram sekaligus menyenangkan itu dengan santai (banget). Bagaimana tidak santai? Aku masih aktif di kegiatan organisasi seperti OSIS, Pramuka, mengurusi buku tahunan sekolah, setidaknya aku juga mengikuti 3 kegiatan yang membuat aku sering (banget) dispen. Yup, enak memang, saat tubuh kita tidak belajar tapi dianggap masuk. Tapi aku rugi, aku banyak meninggalkan pelajaran. Alhasil ulanganku banyak yang tak memuaskan. Aku juga masih sempat-sempatnya bolos jam tambahan persiapan UN dan lain sebagainya. Aku masih menjalani masa-masa kelas XII ini seperti aku waktu duduk manis di bangku kelas XI. Malah aku lebih menikmati masa persahabatanku di kelas XII ini. Santai sekali keledai pemalas ini.

Bodohnya keledai pemalas ini. Bahkan ketika teman-temanku sudah mulai asyik bercumbu dengan buku Detik-Detik, Menit- Menit, dan Jam-Jam, entah apalah namanya itu, aku masih terlena bersenang-senang dengan teman-teman yang sesantai aku menghadapi UN, mereka, iya mereka sahabat sekomplotanku. Entah karena sudah siap menghadapi UN atau memang mereka sejenis denganku. Ya, sesantai itulah aku menghadapi UN, karena aku berpikir UN SMA itu seperti UN SMP yang bisa ditaklukan dengan menutup mata. Ternyata aku SALAH, SALAH BESAR. Bahkan dengan MELEK – pun, aku tidak tahu bisa menaklukan UN atau tidak. Lantas Allah dengan kebaikan-Nya yang Maha Baik menegurku dengan malu yang cukup membayangi melalui sebuah mimpi. Aku memperoleh nilai UN khususnya Fisika, terendah dari semua teman-teman seangkatanku (bersama dengan temanku yang berinisial SN, haha MDDA sekarang bisa kuliah di jurusan Fisika, hebat kan? Tak hanya Fisika, mapel lainpun tak bisa merangkak ke angka 5, hanya mapel bahasa yang bisa aku banggakan. Menyedihkan sekali mimpi itu !

Sebenarnya bukan nilai 1,75 itu yang begitu membayangi, tetapi banyak (banget) teguran dari dewan guru dan teman-temanku, mereka mempertanyakan kenapa siswa yang katanya ganteng (Narsis), pintar bisa mendapat nilai sehina itu. Mungkin aku dianggap sebagai ancaman bagi nama baik sekolah jika tak lulus UN. Tak hanya itu, title siswa “baik-baik” yang aku sandang juga membayangiku. Jabatan masa lalu sebagai orang nomor dua di OSIS apalagi. Belum dengan nilai Biologiku yang nyaris tak ingin aku lihat, bagaimana tidak buat apa Sertifikat Nasional Karya Ilmiahku jika di Biologi saja aku terkapar, apalagi aku punya jabatan di keekskulannya. Malu, malu sekali. Bagaimana kalau aku tidak lulus UN? Apakah aku pantas pernah disebut sebagai siswa baik-baik?

Apa aku layak disandingkan dengan nama-nama lain yang luar biasa yang pernah ada dan berkarya di SMA-ku tercinta ini? Kasihan adik kelasku nanti, menyandang nama besar SMAN 1 Cisarua yang tercoreng gara-gara nama seorang Ari Ramdhani yang UN semudah (?) itupun tak lulus.

"Petiklah hikmah dari cerita diatas."

"Segeralah mempersiapkan diri untuk pertempuran kalian, jangan lengah sepertiku."



... To be continued ...

Minggu, 27 Juli 2014

PIDATO KENEGARAAN PRESIDEN SASTRA INDONESIA


Selamat Pagi, selamat siang, selamat sore, dan selamat malam, tergantung kapan kalian membaca naskah Pidato Kenegaraan saya yang Pertama ini sebagai Presiden Sastra Indonesia ini.

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Salam Sejahtera bagi kita semua.

Pertama-tama yang sangat saya sayangi Mama, Papa, 3 Kakak saya, 3 Adik saya, 3 Keponakan saya, dan seluruh keluarga besar saya.

Yang saya hormati dan banggakan para BLOGGERSONLINERS, FACEBOOKERS, UPDATERS, dan semua Golongan dan Grup Social Media lainnya.

Dan yang saya Rindukan seorang manusia yang terpendam jauh dilubuk hati saya beserta sahabat-sahabat Putih Abu saya, D'ZABUS, TiMiTeBu, X4-STRONGHOLD, EKS-KUADRAT, VEGASUS dan SMANC1S 6ENERATION. Terima kasih untuk 3 tahunnya, terima kasih untuk kenangannya, konfliknya, dan pelajaran serta Rasa Rindu yang amat saya nikmati ini.

Hadirin sekalian, hari ini, dengan penuh rasa syukur kehadirat Allah SWT, dipenghujung senja, dibeberapa jam terakhir dibulan Suci Ramadhan Alhamdulillah kita masih diberi kesempatan untuk merasakan dan menikmati indahnya dunia yang fana ini.

Sholawat serta salam pun tercurah ke Baginda Kita semua Rasulallah SAW.

Dalam kesempatan yang membahagiakan ini, izinkan saya untuk menyampaikan beberapa hal. Yang pertama yakni mengenai PROPAGANDA SASTRA saya setelah bulan Suci Ramadhan, yakni sebagai berikut :

1. Mereformasi Hati
2. Membuat Catatan Islami, pemberi motivasi diri, dan
3. Menyelenggarakan 1st ANNUAL STRONGHOLD FACEBOOK AWARD 2014

Oleh karena Propaganda diatas, maka saya memohon izin dan do'a restu dari rekan-rekan Facebookers semua, agar rencana saya sesuai dan bisa terselenggara tepat pada waktunya.

Dalam Rangka Mereformasi Hati (Dipoin Pertama) saya membuat 3 Agenda Khusus untuk mewujudkan hal ini yang saya sebut dengan 'TRIAS of EID MUBARAK' yakni sebagai berikut :

1. Atas nama Presiden Sastra Indonesia saya mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1435 Hijriah,
2. Menuntut dibebaskannya dan dimaafkannya segala kesalahan yang disengaja ataupun tidak disengaja, dan
3. Taqabbalallahu Minna Wa Minkum. Minal Aidzin Wal Faidzin. Mohon maaf lahir dan Batin.

Semoga dengan Lahirnya Agenda 'TRIAS of EID MUBARAK' diatas dapat menciptakan Manusia Indonesia Baru yang lebih baik lagi serta tidak GALAU, FRONTAL dan saling MEMBULI lagi satu sama lain.

Semoga momen satu syawal kali ini akan mengantarkan kita ke pintu kesuksesan dan meraih kesucian hati dengan terus berlanjut ke bulan-bulan yang lainnya. Semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung. Aamiin Ya Rabbal Alamin.





Astra Field, Minggu, 27 Juli 2014

ARI RAMDHANI KOSWARA
PRESIDEN SASTRA INDONESIA

Jumat, 27 Juni 2014

Pesan untuk Tuan Calon Presiden


Yang Mulia Tuan Calon Presiden, kami disini hanyalah serumpun ilalang yang tumbuh disudut dusun dusun kecil disela percik air bening yang mengalir. Kau nampak berdiri dipuncak bukit mencakar langit. Gemuruh suaramu memecah keheningan pagi. Menebar nyanyian surga ke segala penjuru. Sekedar memikat hati belalang dan kupu-kupu.

Nada bicaramu seperti layang-layang. Melayang-layang dan tak membumi. Sedangkan kami adalah rumput ilalang, yang tak pernah tersentuh sama sekali. Sekian lama kami terjebak dalam kemiskinan. Musim berganti namun tak membawa arti. Bergelut dengan penderitaan dan kepedihan adalah santapan kami sejak pagi hingga petang hari. Mengais sebutir nasi dalam lapar dan dahaga, sudah biasa dan menjadi cerita sejak lama.

Pucuk pucuk daun tak lagi mampu bertunas. Mengering diterpa angin dan kemudian kandas. Batin kami ingin menjerit namun tak mampu terucap dari bibir kami yang terikat. Terbuai mimpi dalam tidur lelap, sampai kapankah kisah ini akan terus kami dendangkan? Sedangkan masih tergiang suaramu yang lantang. Laksana merindu setitik air hujan ditengah musim kemarau yang panjang.

Tuan Calon Presiden yang kami banggakan, bukan untuk sebongkah emas dan berlian, cukuplah bagi kami melihat anak-anak angsa tersenyum riang bermain bersama dihalaman, seperti mereka yang tinggal di singgasana kota. Tengoklah sebentar sawah ladang kami yang gersang. Peluklah kami yang menggigil dicekam kesulitan? Apakah ini memang sudah suratan takdir? Bahwa kami harus terus berada dititik nadir. Lihatlah diatas kasur papan di bilik belakang, anak-anak kami terkulai lemah, merintih pedih minta makan, disudut matanya menyimpan tangis, wajahnya sayu menahan perih. Nyanyian surgawi yang kau lantunkan hanyalah hiburan dibawah bulan purnama mengantarkan kami ke peraduan.

Esok pagi tiada lagi yang tersisa. Ayam jantan berkokok sebagai tanda bahwa hari telah menjelang pagi, malam panjang terlewat begitu saja. Kami terjaga dan tersadar dari mimpi, masih adakah pintu harapan yang terbuka? Untuk kami menyambut masa yang berbeda, tinggalkan jejak langkah yang telah lalu menuju gerbang kehidupan yang baru. Bila masih ada kesempatan untuk bicara izinkanlah kami menitipkan secarik pesan..

"Bolehlah kiranya tuan melesat terbang ke angkasa namun janganlah lupa mengajak kami turut serta"



Salam hangat,

Dari Seorang Pemuda di Negeri ini

Rabu, 14 Mei 2014

TIGA BELAS MANIS


Untuk seseorang yang pernah begitu kupahami.

Aku menuliskan catatan ini dari desakan beberapa rasa yang tiba-tiba menyenggol ruang kerja kepala. Atau sebut saja aku terlalu malu untuk memberitahumu, bahwa aku rindu. Iya aku rindu kau yang dulu.

Ingatkah engkau? Entah berapa juta detik yang lalu, mata kita pernah beradu, kau terisak dihadapanku. Ingin sekali aku berusaha menegarkanmu, karena ini adalah ulahku. Kita saling merekam setiap gambar dalam retina kita. Lalu kau melontarkan beberapa desibel suara yang mengisi gendang telingaku hingga menyentuh kokleaku dan terekam sempurna dalam otakku.


Danar - Asti - Bastian - Ari - Dede - Chicy

Jarak memang pendesak. Hingga aku alami irama sesak. Itu pertanda bahwa rindu sudah beranak-pinak dan kali ini aku mempersilakan aksaraku untuk berbisik pelan lewat matamu.

Jarak kita memang tak terlalu jauh. Bisa aku tempuh hanya dengan menapakkan langkah kakiku, tapi aku terlalu malu untuk melakukan semua itu. Aku takut menyakiti dia. Sahabatku yang juga mencintaimu. Aku menyayangi kalian berdua. Sahabatku dan orang yang telah mengisi hatiku.

"Aku merindukanmu"

Selain jarak, bukankah kepastian juga tak pernah berpihak? Iya?


Fajrin - Fikri - Lisna - Ira - Firman - Irman

Aku hanya menunggu, karena aku adalah penunggu. Tuhan telah memberikan aku kesabaran yang lebih untuk menunggu. Sekali lagi aku hanya menunggu. Menunggu hadiah dari Tuhan, kalau-kalau bisa sesekali dipertemukan. Anytime. Anywhere. Aku hanya menunggu hari dari Tuhan, kalau-kalau hadirmu bisa ku temukan disepinya hariku. Aku hanya menunggu sebuah keajaiban, bahwa Tuhan setuju untuk mempertemukan kita. Untuk sekedar melepas rindu. Itu saja. Apa itu doa yang terlalu tinggi? Apa aku sudah melayang jauh berpuluh senti dari tanah tempatku berpijak?

Aku hanya ingin mengingatkanmu. Empat hari lagi "TIGA BELAS MANIS" itu akan tiba."TIGA BELAS MANIS" dimana kita akan bertemu dalam suatu opera kolosal. Itu akan menjadi momen pertemuan yang berharga bagiku. Itu sangat sakral bagiku. Semoga kau telah mempersiapkan itu. Semoga.


Tia - Marsel - Ucup - Zul - Nopri - Adit

Oh ya! Nanti disana kamu akan melihat betapa aku sangat merindukanmu. Dihari itu lihatlah juga dua sosok pria dihadapanmu. Ada aku dan dia, Sahabatku. Kami, dua orang yang sama-sama mencintaimu dan sepakat menginginkanmu bahagia. Itu saja. Semoga kamu ingat ucapanku ini.


Sadewo - Sarrah - Rizky - Rina - Sahrul - Riri

Ada banyak cara yang sudah kita tempuh untuk memperbaiki kondisi ini. Kita pun sudah sering mendengar dan melihatnya. Tapi, entah kenapa bukan itu yang berada diprioritas inginku. Sekarang, aku hanya ingin sesederhana kamu ada. Aku ingin ketiadaanku tidak menjadi sebuah kesamar-samaran yang terciptakan di "TIGA BELAS MANIS" nanti. Aku hanya ingin "TIGA BELAS MANIS" yang bergulir sederhana dan bisa mendesirkan debar-debar dalam dada karena kamu ada untuk mematrikan momen dalam prasasti hati yang akan aku kenang hingga mati nanti.


Sopian - Doni - Whinda - Suci - Yuli - Umar

Dihari itu, saat aku membuka pintu rumahku. Aku sungguh tak memerlukan paket kejutan yang dilakukan beberapa perempuan untuk membuat laki-lakinya bahagia. Aku hanya ingin ada langkah kakimu yang sama-sama sejalan denganku. Menuju Teater "TIGA BELAS MANIS" kita.

Boleh?

Dipagi yang mengigil karena rindu..