Views

Bogor EduCARE road to Istana Bogor

Memperingati HUT Bogor ke-533 Bogor EduCARE berkesempatan mengunjungi Istana Bogor pada Hari Rabu, 27 Mei 2015

Panitia Penerimaan Angkatan 19

Tes Gelombang 1 pada tanggal 23 Mei 2015

Alun-alun Suryakencana

Perjalanan penuh warna ini adalah pendakian ketiga saya setelah sebelumnya dibulan Juli 2013 dan dibulan Desember 2014 saya mendaki Gunung Gede dan Gunung Pangrango dan kali ini saya bersama rekan seperjuangan dikampus kesayangan mendaki Gunung Gede untuk kedua kalinya.

Air Terjun Pelangi (Cimahi)

Air Terjun Cimahi ini, memiliki ketinggian sekitar 87 meter, merupakan salah satu air terjun yang tertinggi di wilayah Bandung dan sekitarnya. Nama Cimahi berasal dari nama sungai yang mengalir di atasnya. Air Terjun ini berada di ketinggian 1050 meter dpl dengan suhu di kawasan ini berkisar 18-22 derajat Celsius. Brrrrrrr.. #GreatExperience

2 Generous Family

Tanpa terasa kita semua sudah menginjak fase selanjutnya. Semoga kita semua dapat menjadi insan yang lebi baik lagi dikelas selanjutnya. Aamiin.

Sabtu, 29 November 2014

AKU DAN TARI JILID III : "SEBUAH KEPUTUSAN DIRINTIK HUJAN BULAN JULI"



Apa yang akan dikabarkan hujan kali ini, kedatangannya begitu diam-diam, seolah ia mengerti isyarat kerinduanku. Adakah ia tahu perihal kesedihan yang aku tuangkan disetiap rapal doaku? Ataukah hanya singgah sebentar untuk menitipkan pesan bahwa perempuan hujanku tak akan pernah kembali? Apapun itu, hadir hujan dan rinainya di sore ini telah begitu membahagiakanku. Dan akan selalu begitu. Karena bagiku, hujan, dengan atau tanpa ‘dia’, tetaplah satu paket utuh yang akan selalu menjadi kado bagi kenanganku. 

Hujan, teruslah merinai.. Untuk ku titip doa hingga di tujuh langitNya.. Di sini, di balik jendela kamarku. Aku akan selalu menanti, menanti permulaan tetesanmu.. Disini, dalam debar menanti hujan lagi, aku menunggumu 'MENTARI AS-SHAFA' seorang Peri Cantik yang mengisi rumah disanubariku. Kemanakah dirimu setelah kepergiannya, aku tak dapt menemukanmu lagi dalam rinainya hujan diakhir bulan Juli ini.. Ku berharap Tuhan menyampaikan firasat dari semesta hatiku padamu, dimanapun kau berada.

***

Aku yang mengurung diriku dikamar, tak bisa banyak berbicara, hanya hatiku saja yang terus merasa bersalah padanya, tapi apa salahku? Aku tidak tahu, karena terakhir kali aku bertemu dia yakni dikantin sekolah itu. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari arah depan sembari mengucapkan "Assalamualaikum" Aku yang sedang merenung dikamarku sontak menjawab "Wa'alaikumsalam" dan langsung bergegas membukakan pintu.

Ternyata Tari datang kerumahku, aku terkejut karena dari informasi sahabatku, hari ini seharusnya dia pergi bersama Ayahnya ke Bandung, karena Pamannya akan Umroh.

"Tari, ayo masuk" ajakku padanya.
"Iya kak"
"Tari, bukankah hari ini seharusnya kamu pergi ke Bandung?"
"Dari mana kakak tahu kalo Tari seharusnya pergi ke Bandung" tanya Tari dengan tatapan curiga.

Bodohnya diriku, aku dan Tari sudah lama sekali tidak berkomunikasi, hampir 14 kali 24 jam kami tak saling mengetahui kabar dari masing-masing kami. Lalu, apa yang aku katakan? Dalam hatiku bertanya, berusaha mencari jawaban terbaik untuknya.

"Kenapa kakak diam saja? Apa ucapanku ada yang salah? Yasudah, aku tak memaksa kakak menjawab pertanyaanku. Biar aku yang menjawab pertanyaan kakak padaku. Iya Ka, tapi Tari memutuskan untuk tidak ikut ke Bandung"
"Mengapa?" tanyaku lagi
"Nanti akan aku ceritakan, sekarang maukah Kakak menemaniku?" ucap Tari dengan nada memohon padaku
"Kemana?" tandasku padanya
"Entahlah, aku pun bingung ingin kemana?"
"Yasudah, sebentar Kakak ganti baju dulu" dalam hati aku mengira Tari kembali teringat sosok almarhum, karena 2 minggu yang lalu dia masih sangat bersedih, semoga saja tidak.

***

Akhirnya sore itu ternyata rintik hujan yang sedari tadi turunpun seketika berhenti, seakan ia tahu bahwa Sang Pangeran dan Sang Putrinya akan benyambangi dunianya.

***

Aku dan Tari tiba disuatu tempat yang rindang, sejuk, kami duduk diantara sela-sela rerumputan hijau. "Ada apa Tari?" tanyaku padanya, tapi selang beberapa menit ia hanya diam termenung. Tanpa nada dan suara, hanya kicauan burung disore hari yang dapat ku dengar kala itu.

Aku dan Tari diam saja selama 3600 detik lamanya. "Tari, dua minggu yang lalu Kakak yang mendiamkanmu, sekarang kamu yang mendiamkan Kakak, apa kamu ingin balas dendam?" Sahutku kepada Tari yang sedari tadi terus saja memandangi buku diarynya.
"Tidak Kak."
"Lalu?"
"Aku hanya sedang memikirkan mengenai ucapan Kakak ketika dikantin dua minggu yang lalu? Inilah alasanku tidak ikut ke Bandung kak, aku sudah tidak tahan lagi dengan selalu mengira-ngira mengenai ucapan kakak padaku" Jawab Tari dengan menggebu-gebu
"Ucapan yang mana?"
"Jangan pura-pura lupa Kak"
"Sebentar Tari Kakak ingat-ingat dulu" pikirku sangat keras, apa yang kuucapkan padanya hingga dia memikirkannya seperti ini. Mungkinkah ucapanku jika aku menerima dia apa adanya? Ah, tidak mungkin, dia tak mungkin memikirkan ucapan konyol itu, itu hanya mimpi yang selalu kuamini.

"Kakak sudah ingat?"
"Sudah, apakah ucapan kakak tentang kakak menerimamu apa adanya?"

"Iya Kak" Tandas Tari dengan nada sedikit malu. Aku terkejut, aku tidak percaya jika ia selama dua minggu ini memikirkan ucapanku itu.
"Lalu?" tanyaku pada Tari
"Mungkin memang lebih baik aku belajar mencintai dari pada terus dicintai Kak."

Aku membalikan muka Tari supaya ia menatap mataku, lalu aku bilang "Tari, buat kakak cukup kebahagiaanmu saja, itu sudah mewakili semua rasa yang tersimpan dilubuk hati kakak." Tari meneteskan air mata, dan seketika aku menghapusnya dengan tanganku.

"Tidak kak, Tari juga menyayangi kakak, kakak selalu ada untuk Tari." Sanggah Tari
"Tapi kakak sudah terlanjur menjalin hubungan dengan orang lain?"
"Siapa kak?" Sontak Tari bertanya.
"Kak Zevan"
"Apa? Bukankah dia lebih tua darimu?"
"Iya, dia lebih tua dariku, aku telah menetapkan untuk belajar mencintainya"
"Mengapa Kakak mau belajar mencintainya?" Tanya Tari lagi padaku dengan tatapan
serius.
"Aku butuh seorang yang bisa membimbingku Tari." Jawabku dengan penuh harap, semoga ia mengerti posisiku.
"Mengapa kau mencari seorang wanita seperti itu?"

Tari membrondongku dengan bermacam-macam pertanyaan yang sesungguhnya menyulitkanku.

"Aku rapuh Tari, cintaku selalu bertepuk sebelah tangan, kau pasti tahu itu, kau jelas tahu bukan tentang kisah 510 hariku? Kau pun tahu kisah 'Cinta Segitigaku' dengan Sahabatku, lalu dulu sekali kau pun sangat mengetahui bahwa aku ditinggal pergi oleh dia yang kini sudah ada disurga sang kuasa. Aku rapuh Tari, tidak sepertimu, kau selalu bahagia dalam menjalani kehidupanmu, sampai akhirnya kekasih hatimu pergi untuk selamanya. Iya kan?"

"Ya kak, Tari tahu itu, sangat tahu, tapi kak mungkin kehadiran Tari dihidup kakak ini adalah jawabannya. Sempatkah kakak berfikiran seperti itu?"
"Jawaban, jawaban apa? Ini bukan ulangan Tari." Candaku mencairkan suasana.

"Kak sedang serius, tolong tatap mataku. Ya aku mungkin jawabannya, mungkin saja Tuhan memang mempertemukan kita sebagai sahabat masa kecil, lalu Tuhan mengizinkan Tari untuk menemani perjalanan pelik kakak. Melewati masa pelik ditinggalkan orang yang kakak cintai untuk selama-lamanya, melewati penantian 510 hari kakak, melewati konflik 'Cinta Segitiga' kakak, dan kakak juga selalu menemani Tari, melewati masa sedih Tari ketika Mama Tari pergi menghadap sang maha pemilik hidup, ketika Tari kehilangan orang yang Tari cinta, ketika Tari galau akan masalah-masalah Tari, kakak selalu ada untuk Tari, mungkin saja kakak dan begitupun Tari akan saling menemani dalam melewati masa-masa selanjutnya. Tapi bukan sebagai sahabat lagi."

Aku tertegun. Aku tidak menyangka Tari bisa mengatakan itu.

"Lalu menjadi apa?"
"Menjadi orang yang selalu ada untuk kakak, bukankah kakak juga selalu ada untuk Tari?"
"Kakak menghargai keinginanmu itu Tari. Tapi kakak tidak mau dijadikan pelampiasanmu atas kehilangan almarhum."
"Iya, Tari mengerti ketakutan kakak, tapi bukankah kakak bilang, kakak bisa menerima Tari apa adanya?"
"Sudahlah Tari, sekarang kita jalani dulu saja hubungan kita, kita bangun komitmen didalamnya, kita harus saling percaya, kita harus saling merindu saat kita berjauhan, titipkanlah rindu itu pada angin, hujan, malam, senja dan bintang jika kau tak bisa menghubungiku. Jika kita memang berjodoh, hubungan batin kita akan terjalin dengan sendirinya."
"Lalu hubungan kakak dengan Kak Zevan?"
"Kakak akan memberi keputusan padamu nanti malam. Bersediakah kau menunggu?"
"Aku bersedia kak jika hanya satu malam."
"Yup, sebaiknya sekarang kau pulang Tari, sudah jam 4, sebentar lagi waktunya berbuka puasa, bukankah rumahmu cukup jauh? Biarkan kakak mengantarkanmu sampai rumah."
"Tapi aku masih ingin disini, menikmati senja seperti kakak biasa menikmatinya."
"Jika aku telah menjadi milikmu, kau bisa menikmati senja bersamaku sesuka hatimu. Ayolah."
"Baiklah kak, Tari akan menurutinya."

Akhirnya aku mengantarkan Tari pulang. Setelah itu disepanjang perjalanan pulangku aku memikirkan tentang keputusanku malam ini, apa yang akan aku lakukan? Aku memang menyayangi Tari, tapi aku hanya ingin menjadikannya 'sahabat' saja, karena aku tak ingin mengulang kesalahan yang sama lagi. Tapi aku pun sebenarnya tidak begitu menyayangi Kak Zevan, apalagi mencintainya. Aku hanya mengagumi sosok dia yang dewasa, yang bisa membawaku kearah yang lebih positif lagi. Aku bingung. Entah apa yang akan aku tuliskan padanya nanti malam.



.. Bersambung ..

Kamis, 27 November 2014

AKU DAN TARI JILID II : "MENENTUKAN PILIHAN"



Tiba-tiba suara sms mengbangunkan tidurku. Ternyata itu dari Tari, aku menarik nafas dan mulai membaca kata per kata sms yang dikirimkannya. Dia memintaku untuk menemaninya kesekolah barunya hari ini. Karena kurasa aku tidak sedang sibuk maka ku iyakan saja ajakannya. Hingga suatu ketika dikantin sekolah yang kosong tanpa pedagang Tari bertanya padaku “Apa yang bisa membuat kita yakin bahwa seseorang itu bisa menjadi jodoh kita, Kak?” Tari duduk di depanku, memandangku cukup lama.

Aku sedikit kebingungan menanggapi tanya yang Tari berikan, sudah sejak lama aku juga mencari jawaban tentang hal yang sama. Bagaimana sebaiknya aku menjawabnya, sementara aku sendiri juga belum sekali pun bisa menemukan jawabannya. Arrgh, kenapa harus kamu yang bertanya itu Tari? Kenapa harus kamu?

“Ayolah Kak. Kamu kan sahabatku. Jangan diamkan aku seperti itu. Bukankah selama ini kamu selalu bisa menjawab semua pertanyaan yang aku berikan. Dan untuk saat ini, aku hanya ingin bertanya tentang itu. Aku benar-benar ingin tahu. Tidak ada yang salah kan dengan itu?”

Ternyata kau hanya menganggapku sahabat Tari. Aku sendiri bingung. Aku sudah mengenalmu jauh lebih lama dari siapa pun. Aku tahu bagaimana kamu ketika kamu masih kecil dulu. Aku sudah menjadi teman, sahabat, bahkan mungkin seperti kakakmu sendiri. Kamu selalu datang padaku dengan setiap cerita suka dan duka yang kamu punya. Bertahun-tahun aku selalu menemanimu, mendengarkan setumpuk kisah cintamu dengan beberapa laki-laki yang sudah pernah kamu panggil sebagai ‘kekasih’, meskipun sejujurnya, sebenarnya aku lebih suka memanggil mereka sebagai kumpulan orang brengsek, yang untuk kesekian kalinya, selalu saja ada dan datang untuk menyakiti dan mengecewakanmu. Aku tidak pernah suka ketika kamu datang padaku, menangis, dan berbicara terbata-bata, mengungkapkan semua rasa sakit dan kekecewaanmu karena mendapat perlakukan yang tidak seharusnya kamu dapatkan.

“Kak Ari.. kok malah diam gitu sih? Gak bisa jawab pertanyaan aku? Atau gak mau? Ayolah Kak, aku sudah disini untuk satu jam dan aku masih saja gak dapat apa-apa.”

Baiklah. Aku akan berusaha menjawab. “Ok. Tari. Bersabarlah sedikit. Aku sedang berusaha mencari jawaban yang tepat. Berikan aku kesempatan untuk berpikir sejenak. Setelah itu, aku janji, aku akan menjawab semuanya.”

“Itu yang aku mau sedari tadi Kak. Jangan buat aku menunggu lama yaa.”

“Tari, kamu mungkin sudah pernah mendengar cerita ini ribuan kali, namun entah kamu masih mengingat cerita ini atau pun tidak. Hampir setiap kali kamu datang ke rumah, dengan segudang cerita patah hati kamu. Aku selalu mengulang cerita ini.”

“Cerita yang mana? Jujur aku gak tahu cerita mana yang kakak maksud. Yang mana kak?”

“Cerita tentang seorang laki-laki yang mencari makna cinta sejati dan jodoh. Kamu masih ingat?”

“Aaaaa. Sebentar-sebentar Kak. Rasanya aku tahu. Sebentar aku ingat-ingat lagi.” Kulihat Tari yang berusaha mengingat-ngingat cerita kecil nan sederhana yang aku seringkali ceritakan padanya. Apakah dia masih mengingatnya? Kuharap dia mengingatnya.

“Dan?” Tak sabar rasanya aku menunggu jawabannya.

“Kak. Rasa-rasanya aku lupa.” Tari tertawa kecil. “Aku bingung. Ya sudah, kak ceritakan lagi ya.”

“Aduh Tari, masa kamu lupa? Ya sudah, kak ceritakan lagi.”

“Makasih ya kak. Aku akan dengan senang hati mendengarkan.”

“Kak harap ini kali terakhir kak cerita ke kamu.”

“Bertahun-tahun yang lalu, ada seorang pemuda yang dengan sengaja bertanya pada salah satu Gurunya, dia bertanya tentang bagaimanakah cinta sejati dan jodoh itu. Melihat keseriusan pemuda yang bertanya pada Guru itu, lalu sang Guru akhirnya menyuruh pemuda tadi mencari sebuah ranting yang terbaik dari pohon yang ada di sekeliling mereka, dan serta merta si pemuda itu pergi ke pohon yang tidak jauh dari tempat mereka bercengkrama.”

“Pemuda tadi berjalan menyusuri pohon-pohon yang ada di sekelilingnya itu dan dia menemukan banyak ranting pohon yang berserakan di atas tanah. Setelah beberapa langkah, dia berjalan ke arah sebuah ranting yang menurutnya masih bersih berwarna kuning keemasan dan sepertinya masih belum lama terjatuh dari pohon. Ranting pohon tadi ternyata benar-benar menarik perhatiannya.”

“Dia berniat mengambilnya untuk segera diserahkan pada Gurunya. Namun tidak berselang lama, dia segera mengurungkan niatnya. Dalam benaknya dia berpikir, pasti masih ada ranting pohon lain yang lebih bagus dari yang sudah dia temukan, dan dia pun bertekad akan terus berjalan lagi untuk menemukan yang lebih baik. Akhirnya pemuda tadi berjalan lagi dan memang masih banyak ranting pohon yang terjatuh namun dia tidak setertarik seperti pada ranting pertama yang dia temukan di awal perjalanannya menyisiri pohon-pohon di sekelilingnya itu. Dan setelah lama mencari, akhirnya pemuda itu pulang kepada Gurunya tanpa membawa apa-apa.”

“Sang Guru pun bertanya pada pemuda tadi, mana ranting pohon yang kamu suka. Pemuda tadi menjawab, aku sesungguhnya sudah menemukan satu ranting yang menurutku sangat menarik, tapi aku mengurungkan niatku, aku masih berharap untuk menemukan yang lebih baik, tetapi akhirnya aku malah tidak menemukan apa-apa.”

“Sang Guru pun tersenyum dan berkata, itulah cinta sejati. Cinta sejati tidak akan kamu dapatkan jika kamu hanya selalu mencari yang terbaik menurut sudut pandangmu saja, tetapi cinta sejati akan kamu dapatkan, ketika kamu sanggup menjalani sebuah proses.”

Kulihat Tari masih tetap memandangku lekat, terlihat siluet wajahnya yang cantik dan Tari terlihat begitu manis. Andaikan saja kamu tahu apa yang aku rasakan saat ini. Aku akan sangat berbahagia dengan itu.

“Lalu kak? Bagaimana dengan ‘jodoh’ yang aku tanyakan tadi. Cerita kak belum benar-benar menjawab pertanyaanku.” Tari duduk lebih dekat denganku, dia mendekap erat boneka sapi berwarna putih yang aku berikan di ulang tahunnya satu bulan yang lalu. Entah kenapa akhir-akhir ini Tari selalu membawanya kemana pun.

“Sabar. Kita masih setengah cerita Tari. Kamu masih tetap mau mendengar kan?”

“Oke. Maaf-maaf. Ayo lanjutin kak. Aku masih penasaran sama lanjutan ceritanya.”

“Ya. Lalu bagaimanakah jodoh itu, sang Guru kembali menyuruh pemuda tadi untuk mencari sebuah pohon yang bagus untuk ditebang. Dan pemuda tadi pun pergi ke hutan yang terdekat. Dia berjalan menelusuri hutan tersebut. Pada suatu saat dia menemukan sebuah pohon yang sangat bagus menurutnya untuk ditebang. Namun seperti yang sudah dia lakukan sebelumnya, dia kembali mengurungkan niatnya.”

“Pemuda tadi kembali menyusuri jalan setapak ditengah hutan, berharap menemukan kembali pohon yang lebih baik dan juga lebih bagus. Namun setelah lama dia berjalan dan hampir keluar dari hutan dia belum menemukan lagi pohon yang menurutnya lebih baik dari yang pertama. Namun ada sebuah pohon yang tidak jauh dari tempatnya berdiri saat itu, yang mungkin tidak lebih baik dari yang pertama. Meskipun begitu, menurutnya masih lebih baik untuk menebangnya saja daripada dia pulang tetapi tidak membawa apa-apa. Dia berpikir bahwa dia tetap membutuhkan sebuah pohon yang harus ditebang untuk dibawanya pulang.”

“Dan akhirnya pemuda tadi pulang menemui sang Guru dengan membawa pulang sebuah pohon yang telah ditebangnya. Sang Guru bertanya keheranan, apakah ini menurutmu pohon yang baik. Pemuda tadi menjawab, sebetulnya pada awalnya ada yg lebih baik tetapi aku lewatkan seperti saat aku mencari ranting pohon tadi. Setelah cukup jauh berjalan aku menemukan pohon ini, yang mungkin dalam kenyataannya tidak jauh lebih baik dari yang pertama aku temukan, tetapi menurutku pohon ini pun masih tetap akan bermanfaat.”

“Sang Guru tersenyum dan berkata itulah jodoh. Bahwa jodoh akan kita dapatkan berdasarkan keputusan kita.”

“Dari cerita tadi Tari, kita akhirnya dapat mengambil satu kesimpulan bahwa cinta sejati merupakan sebuah proses untuk memberikan cinta kita tanpa mengharapkan balasan apapun. Pada hakikatnya jodoh adalah sebuah keputusan atas berbagai pilihan, seperti hidup kita sendiri inipun juga kita jalani atas berbagai pilihan.”

“Kak. Dalam beberapa hal aku bisa setuju dengan apa yang kak ceritakan, tapi kenapa dalam kenyataannya, ketika aku sudah memutuskan seseorang adalah bagian dari kepingan hatiku yang hilang dan berpikir bahwa dia mungkin ‘orang yang tepat’ yang selama ini aku cari. Aku lebih sering mendapatkan kekecewaan.”

“Itu mungkin karena orang-orang yang sudah kamu anggap ‘tepat’ itu, belum benar-benar bisa ‘menerima’ dan ‘memahami’mu seutuhnya Tari. Itu karena mereka tidak pernah merasa puas dan selalu saja menginginkan sesosok lain yang menurut mereka lebih baik. Mereka yang salah Tari. Mereka yang bodoh, karena sudah mengecewakan dan menyakitimu yang sudah benar-benar tulus menyayangi mereka. Mereka yang tidak tahu apa-apa tentangmu Tari. Tidak sepertiku yang sudah bisa menerimamu sepenuh hatiku.”

“Kak? Bisa kak ulang apa yang kak katakan barusan?” Tari terlihat sangat terkejut mendengarkan pernyataanku barusan.

“Aku bisa menerimamu sepenuh hatiku Tari.”

Minggu, 23 November 2014

AKU DAN TARI JILID I : "SEMUA ADALAH TITIPAN"


Penampilan, kadang menipu. Janji, kadang mengkhianati. Bulan, kadang pergi. Bintang, kadang tak hadir. Sahabat, kadang menghilang. Lalu? Apakah ada yang akan selalu sempurna? Pada kenyataannya, tak ada. Apakah ada yang selamanya menetap dan tak pernah pergi? Pada hakikatnya, tak ada.

“Adakah hal yang mengganggu fikiranmu kak? Sepertinya pikiranmu sedang terbagi-bagi. Ada masalah kak?” Tari memandangku nanar. Tak terlihat ada kehidupan dari kedua matanya. Rasanya seperti kehampaan sedang menelannya dalam pusaran yang sangat kuat. Ia terlihat sangat rapuh, seakan-akan api semangat dalam hidupnya tak lagi membara seperti yang biasanya.

“Tari, adakah hal yang mengganggumu sekarang?” Tari menggangguk, namun ia tetap saja tak kunjung berbicara.

“Maukah kamu bercerita?” Tari akhirnya bercerita banyak mengenai kehilangan yang baru saja ia rasakan. Ada sekian hal yang berubah dari perjalanan hidupnya. Setelah sekian lama ia memberikan kepercayaannya kepada orang yang selama ini bersamanya, pada akhirnya ia merasa itu sia-sia dan tak ada lagi artinya. Tari merasa Tuhan sudah berlaku tidak adil kepadanya. Karena di saat ia merasakan cintanya memuncak, Allah merenggut kehadiran orang yang ia cintai dengan kematian.

Setengah berteriak, Tari menghujaniku dengan pertanyaan. “Mengapa Tuhan tak berikan aku kesempatan untuk lebih lama bersamanya? Mengapa Tuhan membuatku merasakan kehilangan sedalam ini kak?”

Aku lihat kedua matanya yang mulai menghitam karena terlalu banyak menangis. Dan kujawab tanyanya perlahan. “Karena Tuhan menginginkanmu untuk belajar.”

“Apa yang harus aku pelajari dari kehilangan? Yang aku rasa hanyalah rasa sakit, tak lebih.”“Ada banyak hal yang bisa kamu pelajari dari kehilangan. Salah satunya adalah rasa syukur, karena bagaimana pun Allah tidaklah akan pernah berikan cobaan dan ujian seperti apa pun bentuknya, selain karena itulah salah satu bentuk kecintaannya untuk setiap hambanya.”

“Patutkah aku bersyukur di saat orang yang aku cintai Ia ambil kak?” Aku hanya bisa tersenyum ketika ia berbicara seperti itu. Apakah kehilangan seorang yang ia cintai jauh lebih penting dan berat dibandingkan kehilangan cinta dari Tuhannya? Tak sadarkah ia karena telah menuhankan cintanya sendiri?

“Sudahlah, bukan saatnya kamu menangisi kehilanganmu itu. Tidak akan pernah menjadi baik jika kamu harus terus menangisi orang yang sudah tiada. Aku ingin tunjukkanmu sesuatu jika kamu berkenan.”

Tari tidak langsung memberikanku jawaban. Sepertinya ia sedang menimbang mengenai apa yang seharusnya ia lakukan untuk menjawab ajakanku.

“Apa yang ingin kakak tunjukkan?” Tari mulai menghapus air mata yang sedari tadi mengalir deras dari kedua matanya.

“Ikuti saja kemana kakiku melangkah. Nanti kamu akan tahu sendiri apa yang ingin aku tunjukkan.”

Dan pada akhirnya aku membawa Tari untuk berkeliling di sekitar taman. Aku ajak dia berjalan bersama sembari memintanya memperhatikan segala sesuatu yang ia temui di sepanjang perjalanan kami.

“Kamu tahu Tari? Pada dasarnya, ada dua bentuk kehilangan.”

“Dua bentuk? Bagaimana kakak menjelaskan masing-masingnya? Aku masih belum begitu paham dengan apa yang kakak utarakan sekarang.”

“Iya, pada dasarnya ada dua bentuk kehilangan. Yang pertama, kehilangan yang memang kita rencanakan dan kita siapkan sebelumnya. Sementara yang kedua, kehilangan yang tidak pernah kita rencanakan atau kita siapkan sebelumnya. Dan pada saat ini, kamu tengah mengalami kehilangan yang kedua sepertinya.”

Tari memandangku dengan penuh tanda tanya. Mungkin dia masih belum bisa mengikuti jalan pikiranku.

“Coba berikan penjelasan yang lebih agar aku bisa lebih paham dengan maksudmu.”

“Santai saja, Tari. Kita masih punya banyak waktu bukan? Nanti akan Kakak jelaskan dan tunjukkan apa perbedaan dari keduanya.”

“Baiklah, aku masih akan menunggu.”

Di tengah perjalanan, kami melihat salah satu anak sedang terlihat murung, kami lalu menghampirinya dan sekaligus bertanya mengapa anak itu murung.

“Kenapa kamu murung, de?” tanya Tari

“Aku gak punya cukup uang buat beli mainan itu, Kak.”

“Memangnya berapa yang kamu butuh, sayang?”  Tari mengusap kepala anak itu dengan lembut.

“Cuma sepuluh ribu, Kak.” Jawab anak itu sembari menahan tangis.

“Ya sudah, kakak kasih kamu sepuluh ribu untuk beli mainannya. Tapi kamu harus janji ya, sayang.”

“Janji apa, Kak?”

“Mainannya harus dijaga ya, jangan sampai dibuang atau kamu rusak. Gimana?”

“Iya Kak Tanti, aku janji. Makasih ya Kak.”

Anak itu mengambil uang yang Tari berikan dan kembali berlari mengejar penjual mainan yang sudah berjalan agak jauh dari tempat kami berbicara dengan anak itu. Tari terlihat bahagia dan senang di saat bersamaan. Wajahnya berseri seakan ia sudah melakukan sesuatu yang membuat hatinya merasa sangat nyaman.

“Tari, kamu sadar gak? Pada hakikatnya kamu sudah kehilangan sesuatu baru saja.”

Tari terkejut. “Apa? Aku tidak sadar kalau aku kehilangan sesuatu.” Aku tersenyum melihat reaksinya.

“Ya, kamu sudah kehilangan uangmu bukan? Isi dompetmu jelas sudah berkurang sekarang kan. Anak itu sudah mengambil sedikit dari uangmu.” Giliran Tari sekarang yang tertawa mendengarku menjawab seperti itu.

“Aku tidak merasa kehilangan sedikit pun. Aku malah merasa sangat senang bisa berbagi, meskipun sedikit. Memang uangku berkurang, tapi aku tidak merasakan sedikit pun kehilangan.”

“Kenapa kamu merasa senang? Apakah kamu tidak takut? Bisa saja setelah ini kamu membutuhkan uang itu kan.”

“Uang yang aku punya adalah sebagian dari titipan yang Allah berikan untukku. Bagaimana pun, cepat atau lambat, uang itu akan habis juga. Kalau memang suatu saat nanti aku membutuhkan, dan jika memang itu rizki yang seharusnya menjadi milikku, uang itu akan kembali. Jadi aku tidak khawatir mengenai uang yang kuberikan itu.” Aku kembali tersenyum mendengar jawabannya. Ini akan menjadi lebih mudah untuk Tari pahami.

“Seperti itulah yang aku maksud dengan kehilangan yang pertama Tari, kehilangan yang kamu sudah persiapkan. Memang ada sesuatu yang menghilang darimu, tapi kamu tetap sekali pun tidak merasa kekurangan apa-apa, malah kehilangan yang kamu dapatkan itu justru membuatmu merasa senang dan malah bahagia.”

Tari mulai mengangguk mendengar penjelasanku, agaknya ia sudah mulai memahami maksudku. “Lalu, seperti apa bentuk kehilangan yang kedua?”

“Coba kita ubah kondisinya. Bagaimana kalau uang yang kamu punya sekarang semuanya ludes? Bukan karena kamu berikan atau hadiahkan itu untuk orang lain, seperti yang kamu lakukan kepada anak yang tadi. Tapi karena uang yang kamu punya, semua habis karena dicuri atau dompetmu diambil paksa oleh pencopet atau pencuri yang menghadang kamu? Reaksi kamu seperti apa? Apa kamu akan dengan mudah merelakan kehilangan yang kamu rasakan itu.”

“Astagfirullah, aku tidak sekali pun pernah terpikirkan seperti itu. Bagaimana reaksiku? Jelas aku akan kebingungan dan mungkin juga ketakutan. Uang yang ada di dompetku itu mungkin juga tak lagi bisa aku relakan sepenuhnya. Berbeda dengan kondisi yang sebelumnya ketika aku memberikan uangku karena sengaja, dengan maksud ingin memberi.” Tari hanya bisa menggelengkan kepalanya, tak pernah terpikirkan dalam bayangannya jika harus berada di posisi itu.

“Kenapa menjadi berbeda? Bukankah kondisinya tetaplah sama, Tari.”

“Sama? Apa yang membuatnya sama?”

“Mungkin memang bentuk kehilangannya berbeda. Kamu pun juga sadari itu. Di awal, kehilangan yang pertama tidaklah sedikit pun menjadikanmu khawatir, tapi di kondisi yang kedua, kamu mulai merasa tak siap dengan kehilangan yang kamu rasakan. Seperti jawabanmu sebelumnya, mungkin kamu akan kebingungan dan juga ketakutan setelahnya, kamu pun juga tidak sepenuhnya bisa rela dengan kehilangan yang seperti itu.” Tari menggangguk, mengiyakan apa yang aku mulai jelaskan kepadanya.

“Tapi satu hal yang tetap sama, Tari.” Sejenak aku menghela nafas sebelum melanjutkan jawabanku. “Dan kamu sepertinya mulai sedikit lupa dengan ucapanmu sendiri. Bukankah uang yang kamu punya adalah sebagian dari titipan yang Allah berikan untukmu. Bagaimana pun, cepat atau lambat, uang itu akan habis juga. Kalau memang suatu saat nanti kamu membutuhkan, dan jika memang itu rizki yang seharusnya menjadi milikmu, uang itu tentu akan kembali. Jadi kamu tidak akan sedikit pun khawatir mengenai uang yang tercuri atau lenyap itu.” Tari terkejut mendengarku mengulang kembali ucapannya sendiri. Terlihat Tari yang malu, mengakui kealfaannya.

“Sesungguhnya, jika kita menyadari bahwa segala sesuatu yang kita miliki adalah titipan dariNya, tak akan sedikit pun kita merasa khawatir dengan apa pun yang terjadi dengan titipan kita itu. Jika memang itu adalah rizki dan Allah siapkan itu untuk menjadi milik kita, tentu Allah akan berikan kita jalan untuk tetap bersamanya. Bukankah tidak ada seorang pun yang mampu menghalangi kehendaknya bukan?” Kedua mata Tari terlihat berkaca-kaca, ia seperti menahan tangis yang ingin menyeruak dari dalam.

“Tapi mengapa menjadi sulit bagiku untuk ikhlas dengan kehilangan yang aku rasakan sekarang?”

“Itu karena kamu menyimpan ‘titipan’-Nya di hatimu, bukan di tanganmu. Maka begitulah akhirnya, kamu akan merasa berat hingga menjadi begitu mendalam kehilangan yang kamu rasakan. Berbeda jika kamu menyimpan segala sesuatu yang berupa hal duniawi di tanganmu, seperti jodoh dan juga rizki, maka jika ia terlepas atau Allah ambil kembali ‘titipan’ yang diamanahkan kepadamu, kamu tidak akan merasa berat, justru bertambah kebahagiaan yang kamu rasakan. Seperti yang terjadi di saat kamu memberi sebagian rizkimu kepada mereka yang membutuhkan, kamu pun sudah merasakan kebahagiaan itu bukan?”

Dan pada akhirnya. Kita akhirnya tahu dan mulai belajar memahami. Penampilan, kadang menipu. Janji, kadang mengkhianati. Bulan, kadang pergi. Bintang, kadang tak hadir. Sahabat, kadang menghilang. Lalu? Apakah ada yang akan selalu sempurna? Pada kenyataannya, tak ada. Apakah ada yang selamanya menetap dan tak pernah pergi? Pada hakikatnya, tak ada. Semua hanyalah titipan.

Jumat, 14 November 2014

TUGAS PENGAMEN "OTOKRATIS"


Setelah melewati serangkaian peristiwa aneh yang sungguh absurd dalam mengedit, akhirnya bisa di upload juga, hufft sungguh melelahkan, namun ada banyak pelajaran dibalik itu semua, yang paling utama adalah belajar untuk tidak mengeluh dalam kondisi apapun hehe..

Check This Out :

https://www.youtube.com/watch?v=W_kz-FYGEsQ